4

jikapun sejauhjauh aku merantau 
rawa subur selalu memukau 

setinggitinggi aku terbang 
rawa subur tetap terbayang 

biarpun ke dasar aku menyelam
rawa subur tak akan hilang

rawa subur adalah mula kata
di sana aku akhiri ucap 

dengan apa kulupakannya
bahkan pada maut kubawa

kelak aku pulang 

2021-2022

5

di rawa subur aku dilahirkan 
menjadi anakanak dalam riuh 
kereta yang seliweran. dalam gaduh
pertikaian dan anakanak berandal 
yang berlarian di rel ataupun 
kebunkebun; menujah malam 
saat purnama — seperti bocah
yang meminta kakeknya memetik 
bulan buat mainan — karena 
di rawa subur masih temaram 
“hiburan hanya wayang,” kenangan
itu selalu membayang

2021

6

alangkah sempit rumah ini,

ayah hanya bisa membangun 
dua kamar bagi delapan anak 
satu kamar milik ibu dan ayah

alangkah sempit rumah ini,

kadang meja makan 
disulap jadi peraduan
kami tetap lelap
biarpun berkalikali
gemuruh kereta api
menabrak mimpi kami

2022

8

biarkan aku tersesat 
di kotakota lain
sebagai pengembara 
kuikuti jalan adam
sebelum pulang 
ke rumah Tuhan

ibrahim telah mengajarkan 
jadi pengelana di tanah gersang
ismail membentuk diriku 
agar pasrah; dahaga     dahaga

sebelum akhirnya ke asal juga

di mana dulu dilahirkan 
ke mana kini harus pulang

           — rawa subur —
telah pula mencatat namaku 
sebaris epitaph yang kelak 
jadi kenangan; engkau sebut
setiap saat. kau lupa?

2022

9

jelang 64 tahun…

aku mengenang kampung kelahiran. rawa subur 
yang meninabobo, rawa subur yang mengajariku
arti mengolah otot; mengenalkan aku pada mabuk
dan merajut dari pedagang mie ataupun sate

jalanjalan berdarah. luka memar

hampir setiap malam kudengar erang 
ada yang diseret lalu ditembak di hutan
ada yang dibekuk lalu dikarungkan
di sini, aku belajar cara takut 

jalanjalan hitam. ngeri setiap malam

ada teriakan, namun sekejap hilang
orangorang kembali sunyi 
di balik kelambu. peraduan 
yang tak henti menawar kematian

jelang 64 tahun…

aku ingin sampai di rawa subur
bagi segala tubuhku dikubur

2022

14

kalau ini saat aku belum pulang
izinkan kutitip namaku, kelak
kau menulisnya sebagai prasasti 
atau barangkali epitaph. bisa 
dinikmati orangorang yang singgah
sebentar: sekadar menatap 
                  sekadar mengenang
                  (tanpa doa, tak perlu 
                  doadoa)

kutitip namaku, tanggal + bulan +
tahun lahirku. rawa subur yang 
kini sesak dan molek. tak jauh 
dari pusat kota. riuhnya sampai
parasnya kian semampai
     seperti perempuan…

ah, tiap meyebut perempuan 
aku begitu sungkan; tak mampu 
mengurai rahasianya. misteri
   — semisteri kematian —
hanya Kau yang miliki rahasia itu!

sajak-sajak ini sebagian dari sajak panjang bertajuk “Pulang” yang ditulis sejak 2018/2019.

Oleh:

Isbedy Stiawan ZS adalah penyair Indonesia asal Lampung. Banyak menulis puisi, cerpen, esai, dan karya jurnalistik. Pada 2022 ini, telah terbit 2 buku puisinya, yakni “Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjajalan” dan “Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang” terbitan Siger Publisher, Lampung.

TAMAT.