- TULIS sebuah cerita kontot (sekitar 500 perkataan).
- TEMA: Sebarang cerita tapi berlatarkan keadaan hujan/banjir yang sedang menyerang kawasan Nusantara pada masa ini.
- TEMPOH: Ahad 19.12.2021 – Isnin 20.12.2021.
- HADIAH: (1) RM101; (2) RM100; (3) RM99.
- HANTAR karya anda ke emel ini: gaksaAsean@gmail.com.
PENYERTAAN
- Ade Mutoyanah. Rumah Nenek Anak-anakku Langganan Banjir.
- Moh. Ghufron Cholid. Perjalanan Air Mata.
- Paridah Ishak. Lagu Banjir.
- Cunong Nunuk Suraja. Hujan Dalam Kereta Commuter Line.
- Putraery Ussin. Orang Nun Jauh.
- CT Nurza. Segalanya Tiada Lagi.
- Moh. Ghufron Cholid. Sketsa Hati Halimah.
- Cunong Nunuk Suraja. Malam Natal Putih.
KARYA
1.
“Rumah nenek anak-anakku langganan banjir”
Di daerah link.Kedawung kel.Pabean kec.Purwakarta kota Cilegon tepatnya didepan masjid Jami’ Nurudin,disanalah kediaman neneknya anak-anakku tinggal dan rupanya setiap hujan deras pasti langganan banjir,entah karena hujan deras ataupun banjir bandang.Saking seringnya air masuk,makanya kami sebutkan langganan banjir dikarenakan posisi rumah rendah dan aliran drainase mengarah ke kali capang,sebutan yang populer untuk sungai dibelakang rumah nenek.Ada satu hikmah berharga meskipun selalu jadi langganan banjir. Semua anak-anaknya nenek untuk menyarankan rumah ditinggikan pondasinya agar saat hujan deras tidak khawatir air bakalan masuk,namun rupanya sulit meluluhkan hati orang tua,yang sangat mempertahankan orisinal rumah yang memang sangat berkesan bagi beliau.Namun,tanda bakti kami kepada orang tua,ya sudahlah kita turuti saja keinginan beliau,toh hujan pun beliau yakini sebagai Rahmat Allah SWT.Alhasil,setiap dengar hujan deras,hati kami anak-anak nya pun ikut was-was,pasti kami selalu menelpon nenek dan memastikan keadaan nya.Pernah yang terparah,di kota Cilegon,saat banjir bandang besar,seluruh masyarakat terdampak,rumah nenek pasti menjadi rumah yang surutnya paling lama,saat itu sampai-sampai harus mengungsi,bersyukur selalu bantuan peduli datang bermacam-macam dari masyarakat dan umat.Nenek malah hanya bisa mensyukuri bahwa selama ini ia selamat,ia bertahan dan yakin hujan adalah Rahmat.Bahkan beliau senang dengan kasih sayang serta kerukunan putra-putrinya saling bahu membahu membersihkan pasca banjir, beliau melihat cucu-cucunya naik perahu karet dengan ceria,tidak peduli seberapa lelah tenaga jika banjir datang,yang ada dalam benak beliau adalah sesuatu yang bisa di syukuri meskipun dalam keadaan yang sulit.Prinsipnya yang sangat kekeh bertahan di rumah itu,membuat kami turut menyayangi rumah itu sebagai tempat yang unik,bukan sekedar rumah,namun segala kejadian baik buruk disana untuk dilihat kebaikannya.Kini,drainase sudah menjadi prioritas pemerintah dan ditingkatkan perbaikan pembangunannya yg lebih baik dan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai sangat baik, setidaknya sudah mengurangi was-was kami,karena air hanya lewat depan rumah,semoga tidak masuk lagi ke dalam rumah.
Penulis: Ade MutoyanahKetileng_Cilegon
085930063956
2.
PERJALANAN AIRMATA
Oleh Moh. Ghufron Cholid
“Jangan menangis, jangan menjadi orang rapuh. Lihat, lihatlah aku! Dalam sakitku,
aku masih bisa tersenyum. Hari ini, aku sangat bahagia sebab aku akan berjumpa
kekasihku!” Paman mulai berujar padaku untuk meredakan tangisku.
“Kau tak perlu menangis. Hari ini aku sehat. Aku akan berlari kencang menemui
kekasihku!” Paman kembali berucap agar aku tak terlalu lama didekap gelisah.
“Banjir yang datang pagi ini, jangan pernah kau maknau sebagai petaka. Banjir ini
sengaja datang ke rumah kita sebagai tanda bahwa bumi telah menyambut hari
teristimewa buatku bertemu kekasihku!”
Paman terus saja berusaha menghiburku meski di atas ranjang dan terbujur kaku.
Tak ada kesedihan yang paman tampakkan. Paman hanya tersenyum dan terus
tersenyum.
“Istirahat bagi seorang muslim adalah saat ajal datang menjemput! Aku telah lama
berjuang dan aku ingin istirahat, biarlah perjuanganku, kamu yang melanjutkan!”
pinta paman dengan suaranya yang mulai serak dan terbata-bata.
Aku semakin tak mampu menyembunyikan kesedihanku sementara air mulai
berlarian memasuki rumah kami seakan ingin mengucapkan salam bumi pada
penghuninya.
“Berhentilah paman, hematlah tenagamu. Cepat, cepatlah sembuh sebab aku masih
rindu senyummu, sebab aku masih rindu canda tawamu juga perjuanganmu!”
Sesekali paman menatap tajam ke arahku dan sesekali menundukkan kepala lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak perlu repot-repot merawatku. Aku sudah sehat, sebentar lagi aku akan
berlari menuju kekasihku. Hidup ini hanyalah persinggahan yang pada akhirnya
akan ditinggalkan dalam sukacita!”
“Aku sangat senang bisa merawat paman. Aku tak pernah menganggap paman
sebagai beban. Bisa merawat paman adalah surga pengabdian yang memikat
batin!”
Banjir terus saja berdesakan memasuki rumah kami. Tak ada rasa canggung.
Sementara aku masih dikepung duka. Lantaran paman yang sangat kucintai masih
bisa tersenyum dalam sakit yang teramat. Lantaran paman yang aku sayangi, tidak
pernah menganggap sakit sebagai musibah.
“Lihat, lihatlah air ini. Air yang begitu ceria bertamu ke rumah kita. Air yang tak
pernah ragu membawa pesan semesta. Air yang tak pernah gengsi meninggalkan
tempat tinggalnya hanya untuk bertamu ke rumah kita. Lihat, lihatlah air ini begitu
akur satu sama lain seakan ingin mengajari kita bahwa hidup bukan hanya
permusuhan tetapi tentang bagaimana kita merawat keakraban yang beranak-pinak
kesetiaan dan kebahagiaan!” paman berucap padaku seraya berusaha mengangkat
tangannya hanya sekedar menepuk pundakku.
Aku terus saja menangis, sesekali menyeka airmataku. Pelan-pelan kukepalkan
tanganku untuk menghimpun kekuatan agar kesedihanku tak dilihat paman namun
aku tak pernah berhasil.
Paman kembali menatapku dan kembali mengingatkanku bahwa air yang bertemu
ke rumah kami sudah mulai meninggi. “Lihat dan saksikan betapa santun air ini
bertemu ke rumah kita. Air ini semakin menghampiriku menyampaikan pesan
padaku bahwa pertemuan istimewaku dengan kekasihku segera tiba. Aku akan
keluar dari rumah ini dengan berlari!” ucap paman padaku sambil tersenyum.
Jam terus saja berdetak, sedang paman terus tersenyum padaku dan hari itu pula
aku tak lagi mendengar suara paman. Banjirpun pulang menghanyutkan batang-
batang kenangan ku bersama paman sedang alamat luka semakin jelas dalam
pandang mataku.
Angin terus saja berhembus sementara banjir telah pulang, tak lagi menetap dalam
rumah kami.
Junglorong, 19 Desember 2021
3.
LAGU BANJIR
Bergema lagu itu di corong radio suatu ketika. Kalau tidak silap ‘Lagu Banjir ’
dinyanyikan, Harun Salim Bacik. Lagu yang asyik juga didengari.
‘Eh banjir bukan untuk dinyanyilah!’ bisik hatiku pula mulai sedar diri. Banjir
adalah musibah yang tidak diingini kerana datangnya menyebabkan
kerosakan, kemusnahan harta benda dan kadangkala kehilangan nyawa.
‘
Dan tengkujuh bermusim lagi tanpa pernah berselang tahun. Negeri-negeri
yang sering dilanda banjir seperti Pahang, Terengganu, Kelantan, Johor, kini
mulai dinaiki air setelah hujan seharian sejak semalam. Tahun ini banjir
merata seluruh negara. Selangor, Kuala Lumpur, Perak, Kedah turut dilanda
banjir. Pusat Pemindahan Sementara banyak dibuka untuk menampung
mangsa banjir terlibat. Angka korban akibat banjir tinggi jumla dilaporkan
media. Tidak seperti banjir yang berlaku selalu hanya melibatkan negeri-
negeri yang terletak di pantai timur sahaja.
Memandang hujan yang turun tidak berhenti, sekejap lebat sekejap renyai
amat merisaukan. Bimbang sangat air mendadak naik dan tidak sempat
bersedia apa-apa untuk menyelamat diri, harta benda atau dokumen penting.
Sebelum pernah mengalami banjir, aku pernah berkata kepada seorang rakan
yang sama-sama mengikuti kursus penulisan DPMP di Temerloh, ingin sekali
merasai banjir. Beliau memarahiku, memasang niat begitu,
“awak tak tahu betapa susahnya kami menghadapi banjir besar pada tahun
70 dulu. Air naik sampai ke bumbung dan kami ayam, itik, kambing pun naik
ke bumbung menunggu bantuan penyelamat. segala apa yang ada dalam sedih
koi nengok rumah kawan-kawan habis hanyut…nasiblah umur koi panjang
nak selamat, boleh berjumpa dengan awak hari ini sebab tak hanyut dalam
banjir tu.”
Dahsyat sungguh pengalaman rakanku itu menghadapi banjir yang melanda
kampungnya yang terletak di tebing sungai Pahang itu. Membuat aku terdiam
dan tidak berani bercakap tentang itu lagi. Menyesal pula aku celupar
bertanya.
2007, tika aku sedang berkursus penulisan anjuran DBP di hotel Dynasty
Kuala Lumpur, seorang jiran menelefon memberitahu rumahku dan yang lain
dinaiki air akibat hujan lebat yang membawa lumpur dan segala sampah sarap
menerjah kawasan kampung hingga menyebabkan tembok pagar bersimen
tinggi rumah jiranku pun runtuh.
Aku tidak dapat segera pulang membersihkan rumah daripada lumpur dan
kotoran menyebabkan banyak perabot terendam dalam air, mesin basuh, peti
ais habis rosak dan terpaksa dibuang termasuk buku-buku yang terisi di
dalamnya.
Semenjak peristiwa itu setiap kali hujan turun dengan lebat hatiku menjadi
bimbang dan tidak senang duduk kerana memang pasti terpaksa menghadapi
banjir lagi. Hampir puluhan tahun aku tinggal di sini, tidak pernah merasa
banjir sekali pun.
Kini kejadian banjir sudah jadi fenomena setiap kali hujan turun dengan lebat
di kampungku. Dan pihak FELDA yang mentadbir pengurusan kampungku
siaga memberi bantuan yang diperlukan. Aku pernah menaiki land rover
FELDA pengurus rancangan pada suatu malam kerana rumuahku dinaiki air
sedalam dua kaki dan dikhuatiri air akan naik lagi.
Mungkinkah disebabkan tsunami yang berlaku pada 2004 menyebabkan
perubahan iklim di rantau sini menjadikan hujan mencurah terlalu lebat
sehinggakan tempat yang selama ini tidak dijangka akan banjir berlaku
sebaliknya. Hanya Allah yang Maha Tahu setiap sesuatu yang berlaku akan
rahsia hikmahnya.
Subhanallah . Hanya Allah yang Maha Tahu apa jua rahsianya dan kita
doakan negara kita terhindar daripada bencana yang tidak diingini. Aamin!
4.
HUJAN DALAM KERETA COMMUTER LINE
Gerimis turun sejak kereta api memasuki area persawahan. Aroma sekam basah memenuhi gerbong kereta tanpa lampu. Peluit kereta sesekali menjerit meminta sinyal aman. Hampir semua penumpang tampak lelah.
Kilat menyambar sejenak menerangi hamparan padi yang baru segar kehijauan menjanjikan panen berlimpah. Kereta mendengus menyemburkan bunga api dan melanjutkan perjalanan lebih gegas.
Malam masih muda basah disembur gerimis Desember. Perjalanan menuju rumah kakek menerobos gerimis dan jalan becek. Lampu listrik terakhir sebelum tikungan jalan desa bayangan pasar dalam gelap. Secangkir minuman hangat menunggu dikitari sepasang kunang-kunang mengerdip hijau.
Lonceng gereja kota penanda waktu berdoa sekaligus pengingat jam kerja para pedagang pasar tradisional. Gema suaranya mengetuk langit pagi masih berdekapan dengan embun putih. Kemarau panjang.
Hujan bulan Juni tidak seperti imaji penyair senior yang ditengarai diserap pohon berbunga dan membulirkan padi di sawah. Belalang dengan rakus melahap umbut hijau muda berebut dengan ulat-ulat munggil tanpa bulu santapan burung prenjak sehari-hari.
Angin pagi menyisir di depan jendela penginapan yang kusam di seberang pasar desa yang sudah berdengung sejak terang tanah. Pedagang hasil bumi sibuk menera harga pasokan petani yang berencana matahari sepenggalah sudah tiba di rumahnya. Beberapa bonggol sayur ditukarkan garam, gula putih dan ikan asin. Percakapan tengkulak dan petani semarak berlangsung singkat sebelum ulat-ulat menggeliat bersiap-siap mengepompong.
Kereta commuter line 1 masih bergerak langsam menembus cakrawala tertutup tirai hujan deras. Sesekali jilatan kilat melesat memantul di jendela kaca kereta. Semua penumpang tegang mengira kereta tersambar petir dan tenaga listrik lumpuh. Mereka tak lagi semangat membayangkan pisang goreng dan kopi di sebuah warung ngopi. Semua mengemikkan doa menurut kitab pedoman masing-masing. Semua tidak berfikir tentang fiksi yang fiktip karena nyatanya kereta mulai terguncang dan derit rem besi melengkingkan suasana mencekam.
Hujan makin menggila dan kereta tak bergerak. Di luar jendela panah-panah hujan menghajar disertai kilatan petir. Tenaga listrik mati lampu dalam kereta padam. Serentak perempuan penumpang kereta menjerit histeri, ada beberapa bapak-bapak juga nemekikkan asma Tuhan.
Dari ruang masinis dengan tenaga listrik cadangan diumumkan ada gangguan listrik dan diminta tetap tenang. Semua penumpang melolos telepon genggam dan menyalakan untuk memberi kabar keluarga di rumah. Celakanya jaringan sibuk dan semua komumikasi tersandera raungan hujan angin di luar kereta.
Hujan makin deras dan di luar jendela makin gelap. Semua penumpang mendesah kepanasan.
Beberapa lelaki mulai membuka jaket, beberapa menyalakan rokok. Udara makin pekat kelabu. Berturutan jendela dibuka dan terpaan air hujan membasahi gerbong. Sebagian mulai basah keringat dan mandi air hujan. Listrik menyala. Kereta menggoyangkan perutnya dan mulai melata menuju stasiun dan segera memutah isi perutnya. Wajah-wajah penumpang yang terlepas dari lubang jarum petaka.
Jam tangan mengarah garis lurus ke langit dan bumi. Udara gerah di kereta. Penumpang berdesakan dan mendesah tersiksa. Penumpang lelaki merangsek ke pintu saat gerak kereta melambat siap berhenti dan memuntahkan perut yang makin membengkak. Peluit kereta menjerit minta dibukakan sinyal. Matahari melorot di barat membuarkan aroma darah.
Tak terdengar suara burung kecuali cericit rem. Penumpang commuter line terkantuk sebagian dan sebagian lain tenggelam dalam permainan gawai. Goyangan kereta yang ritmis meninabobokkan mimpi. Semua mengharap senja menyepuh harapan. Terompet kereta menghentak melewati tikungan tajam dan persilangan jalan tanpa palang pintu. Lelaki tua di sudut tempat duduk khusus menghitung sisa kembalian pembelajaan hari ini. Setiap bulan ditebusnya obat ginjal dan jantung dengan uang bantuan sanak-saudara. Enam jenis pel diminumnya dua kali sehari.
Di rumah yang lusuh sejak istrinya tinggal dirawat anak sulungnya menyisakan bayang warisan kusam bagi anak bungsu yang juga belum menyelesaikan pendidikan lanjut sarjananya. Televisi, pesawat telepon di dekat meja televisi tak tersapa. Pembantu rumah tangga yang juga mulai pikun masih setia menyediakan makan. Menjelang senja suami pembantu tumah tangganya selalu menjemput. Memang lelaki suami pembantu rumah tangga itu jauh lebih muda. Lebih perkasa dan lincah yang sesekali membetulkan rumah jika ada genting bocor atau lampu listrik putus, juga sepetak rumput di halaman yang perlu dipangkas. Lelaki tua di kereta commuter line sendiri menghitung sisa stasiun yang akan disinggahi sebelum sampai ke kotanya. Senja melengkapkan cerita dengan nyanyian musim yang kadang mirip rintihan burung kedasih di tengah malam. Lelaki itu terbius goncangan ritmis kereta menenggelamkan dalam mimpi perjalanan ziarah yang wajib dikerjakan karena mampu harta dan tenaga.
Lagu Unchained Melody membiaskan senja dalam pelukan gerimis. Desah nafas puisi menggelung imaji pantai bergolak ombak badai birahi memuncak menubruk fatamorgana sosok membuih. Cecap asin pasir putih menyadarkan bayang-bayang mengabut lepas jejak sejarah muasal terungkit angin malam dalam catatan camar.
1. https://en.wikipedia.org/wiki/KRL_Commuterline
Tamancimanggubarat 20Des21
5.
Orang nun jauh
DIA merenung jauh.
Semuanya berlaku dengan pantas. Umpama sekelip mata keadaan telah
berubah. Beginikah yang diulang ingat oleh para pendakwah bahawa; Allah akan
mengujimu tidak kira bila mana masanya?
Melaut air di depan mata. Hanya kelihatan puncak-puncak. Sayup-sayup
sahaja limpahan air. Sudah beberapa panggilan telah dilakukannya. Hampa. Dia
menghantar pula pesanan mesej. Juga tidak dibalas. Kecewa.
“Ke mana semua orang ni?” dia menguman. Perut juga mula meminta
makanan. Lapar. Habis semua hartanya musnah. Tidak dapat diselamatkan. Dia
hanya sempat naik ke atas bumbung. Tangga yang digunakan tadi juga sudah tiada.
Hanyut.
Seingatnya. Dia pulang dari tempat kerja. Sepanjang jalan hujan sudah
bermula. Selepas mengharungi kesesakan jalan raya yang gila, dia solat asar dan
terlelap di sofa.
Seingatnya juga. Ketika masuk ke dalam rumahnya, yang terletak di kawasan
yang agak tinggi itu langsung tiada air yang bertakung di luar. Lot-lot bungalow itu
sudah 20 tahun dibina tegak kukuh tanpa sebarang cerita duka atau bencana.
Ini kali pertama seingatnya. Sebelum ini hanya melihat, mendengar kisah
orang yang terkena malapetaka. Kali ini dia yang kena. Air kekal meladung dan
terhimpun. Saujana mata memandang. Air di mana-mana. Perasaannya sudah mula
resah. Kata orang mati lemas sangat menyakitkan, entahlah? Dia kan merasa jika
tiada yang datang menyelamatkannya. Yang nyata saat mati itu juga diulang-ulang
cerita tentang sakit. Dia mula berasa geruh.
Ada tangan melambai-lambai kepadanya dari kejauhan. Selang beberapa
rumah dari tempat dia sedang berdiri itu. Dia tunjuk telefon bimbitnya. Sayup-sayup
orang nun jauh itu menggeleng dan mengawang-gawang tangannya.
“Oh, telefonnya tiada ….” Itu anggapannya.
Hari semakin gelap. Redup cuaca seolah-olah akan ada lagi air dari langit
yang akan tiba. Ya benar! Tidak beberapa lama, rintik-rintik hujan sudah bermula.
Kemudian sudah lebat menggila. Dia kesejukan. Hanya sehelai sepinggang di atas
bumbung rumahnya. “Apa yang aku nak buat ni?” ligat otaknya berfikir.
2
Dari kejauhan, sekali lagi orang nun jauh di sana merenung dan melambai-
lambai ke arahnya. Mereka berdua pasti akan kesusahan, jika hujan ini berterusan
lebat dan malam pula menjelma. Kegelapan selalunya boleh menambah resah.
Akan hilang pertimbangan. Semangat juga akan luntur. Apabila itu terjadi, pasti
nyawa juga boleh berlalu pergi.
Dia perlu menyelamatkan nyawanya dan juga nyawa orang nun jauh itu.
caranya …. Telefonnya direnung lama-lama.
Segala yang ada di dalam telefon itu dibaca dan dilihatnya. Sudah banyak
berita dan gambar yang tersiar. Seluruh bandar raya itu tenggelam. Bah besar. Itu
yang nyata. Juga ada cerita ramai yang terperangkap di mana-mana. kata-kata
seperti “doa untuk bandar raya”, “selamatkan mereka”, “moga bala terhindar”,
“ampunkan dosa mereka” dan lain-lain ucapan lagi sudah berlegar di media sosial
bersama tanda pagar.
Dia bertambah panik. Dia membuka kamera di telefonnya merakan gambar
air yang sudah menyentuh kakinya yang berada di atas bumbung rumah itu. Dia
juga bersuara untuk bercerita bahawa rumahnya di atas bukit itu juga sudah
tenggelam tetapi bantuan belum tiba. Dan dia perlu diselamatkan segera. Video itu
disebarkan ke alam maya. Harapnya menggunung agar ada yang peka.
Tiba-tiba, orang nun jauh berada di sebelahnya. “Lekas, mari kita berenang!
Air sudah menenggelamkan semua rumah ni.”
“Kita nak ke mana?” dia terpinga-pinga.
“Sebelah sana … bukit tu rasanya boleh selamatkan kita. Ada suara dan
cahaya. Tunggu di sini sahaja tak guna!” tegasnya.
Dia mula berenang ke arah yang ditunjuknya. Ada sorak-sorak
hingar. Ternyata sudah ramai manusia berlonggok di sana. Sebuah kedai penuh
dengan manusia. Dia menghampiri keramaian itu, melangkah masuk untuk
memohon simpati. Tiada siapa yang peduli kehadirannya. Semuanya asyik
menonton perlawanan bola sepak Piala Suzuki, pertemuan antara Malaysia
menentang Indonesia. Ternyata malapetaka di belakang tidak memberi kesedaran
apa-apa. Semua akan dilupakan. Kononnya, atas dasar hidup perlu diteruskan.
Dia berkalih melihat dan mencari-cari … orang nun jauh juga tiada. Dia
terpinga-pinga.
6.
CT Nurza
Segalanya Tiada Lagi
Sesuatu yang tak terjangka. Dua hari sebaik sahaja pulang dari Majlis pernikahan anak saudarku yang berlangsung di Teratak Amandarii Homestay, Kajang. Aku dikejutkan dengan berita mengenai banjir kilat yang luar biasa di sekitar ibu Kota Kuala Lumpur. Sangkaku ia cuma berlaku di Negeri Selangor sahaja. Tetapi rupa-rupanya telah merebak ke serata negeri.
Dari semasa ke semasa, aku begitu tekun mengikuti info-info sahih yang disiarkan oleh radio dan akhbar-akhbar online utama di media sosial. Selain itu turut mengikuti laporan-laporan terkini dari page pihak-pihak berwajib. Tiba2 aku terbaca amaran bahaya untuk dua negeri. Pahang dan Selangor. Aku mula rasa tidak sedap hati.
Melihatkan keadaan hujan yang turun berterusan tanpa henti selama dua hari kemudiannya, hati bertambah gusar. Manakan tidak, sejak pulang ke kampung, kami telah terputus bekalan air. Al-maklum air gunung, apabila hujan lebat sampah sarap akan menyekat laluan air. Segalanya serba payah.
Hendak keluar membeli air mineral, WhatsAppku sudah penuh dengan gambar jalan-jalan yang dilimpahi air banjir di sana sini. Mahu atau tidak, kami terpaksa menadah air hujan untuk digunakan mengikut keperluan. Ketiadaan air amatlah menyulitkan.
Hari kedua banjir melanda ganas. Aku keluar ke belakang rumah sambil melihat rintik hujan yang masih lagi belum reda. Sambil itu aku berbual-bual dengan kakak iparku di dapur. Kami sedang berfikir dan berbincang bagaimana mahu mendapatkan bekalan gas, beras, gula serta makanan lain untuk disimpan sebagai stok jika terjadi banjir besar.
Rumah abang yang kutumpangi ini terletak agak jauh dari rumah jiran sekampung. Kami tinggal di atas bukit Di pinggir gunung. Sudah pasti tiada siapa yang boleh sampai ke sini jikalau kesemua jalan masuk digenangi air banjir. Aku beristighfar dan berdoa di dalam hati moga Allah menurunkan pertolongan kepada kami pada waktu yang terdesak ini.
Entah bagaimana, sedang aku terfikir-fikir menghadap ke arah bukit di hadapanku. Tiba-tiba aku terlihat ada air menyembur-nyembur keluar seperti bunga api dari celah tebing bukit. Cantik dan unik. Aku terkejut seraya berlari ke arahnya untuk melihat. Allah Hu! Sungguh benar kuasa Allah. Air mata air yang sangat jernih memberi rahmat kepada kami di saat ketiadaan air yang diperlukan sewaktu.musibah banjir melanda.
Dengan perasaan gembira dan teruja, aku segera memanggil abang untuk menyaksikan keajaiban Allah kepada kami. Dengan rasa syukur! Abangku menyiapkan bekas tadahan dan membuat saluran sekadar perlu, agar air dapat
mengalir masuk ke dalam bekas yang disediakan. Kami bergotong-royong dua-
beradik dalam rebas hujan yang masih lagi berterusan.
Sedang rancak membetulkan tempat tadahan air mata air tersebut, sekonyong-
konyong telefon bimbit abangku berbunyi. Rupanya anak saudaraku yang menelefon
ingin bercakap denganku katanya.
Aku menyambut panggilan tersebut tanpa menduga apa-apa. Sebaik sahaja aku
diperlihatkan dengan gambar-gambar keadaan banjir di rumahnya di Sungai Buluh,
Selangor. Aku seperti terkedu dibuatnya. Oh Tuhan! Barang2 kesayanganku dan
arwah suami yang dipindahkan ke rumahnya selepas kematian arwah suamiku, kini
musnah semuanya dilanda banjir yang tidak terduga.
7.
SKETSA HATI HALIMAH
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Hujan turun dengan lebatnya. Tak ada keraguan untuk menyatakan rindu pada bumi yang telah lama tak di sapa nya. Sementara di halaman rumah, bocah-bocah begitu riang, begitu berpesta pora dengan datangnya hujan.
Ada rasa cemas di hati Halimah. Perasaan yang sungguh tak bisa disembunyikan. Halimah seakan sangat hafal dengan tanah kelahirannya, bila hujan turun dengan lebatnya, tentu datangnya banjir tak dapat di sangkalnya.
Matanya menatap tajam pada lebat hujan, sesekali tersenyum menyaksikan bocah-bocah menikmati ungkapan langit pada bumi, lewat hujan yang tak pernah ragu berbagi ikatan batin. Halimah seakan menemukan dirinya di masa lampau. Namun perasaan senang hanya bertahan sebentar manakala Halimah sadar hujan yang turun tak hanya datang dalam hitungan detik maupun menit. Tetapi datang dalam hitungan berjam-jam.
Cepat, cepat kemasi barang-barangmu Halimah, banjir besar segera tiba, segera menyapa dan bertamu di tanah kelahiranmu. Jangan hanya berpangku tangan berharap keajaiban turun dari langit. Halimah terus bergumam dalam hatinya, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada bahaya yang siap membuatnya kalang-kabut.
Hati Halimah mulai menangis, ingatannya kembali menjangkau kenangan tentang banjir besar yang pernah menimpa tanah kelahirannya. Banjir yang begitu besar pernah terjadi dan meninggalkan bekas duka yang begitu dalam.
Banjir yang menghanyutkan harta berharga dalam hidupnya, rumahnya yang terbuat dari kayu, ikut hanyut bersama banjir. Yang tersisa hanya puing-puing. Yang tersisa hanya duka yang sulit diobati.
Banjir, mengapa kau bertamu. Jika hanya mampu menanam pilu, di kedalaman batinku.
Tak bisakah kau sedikit berdamai, berkompromi dengan adaku yang terus didalami nyeri
Halimah kembali mengenang banjir dan mengabadikan dalam catatan pribadinya. Berulangkali Halimah berkemas-kemas barang yang dianggap sangat berarti dalam hidupnya. Halimah tak mau dikalahkan duka—lara untuk yang kedua kalinya. Halimah tak ingin dihinggapi rasa penyesalan lantaran
dalam banjir besar, yang pernah ada Halimah hanya menjadi saksi mata, tanpa mau berjuang menyelamatkan barang-barang berharga baginya.
Bagi Halimah cukup sekali takluk pada ketakberdayaan selanjutnya berkata good bye duka—lara. Banjir boleh ada dan boleh bertamu kapan saja, tetapi aku tak boleh kalah oleh ketidakberdayaan. Terapi aku tak boleh mengamini penyesalan tanpa pernah mau menepikannya dengan usaha. Halimah terus
bergumam sembari mengepalkan tangan.
Benar saja, apa yang dikhawatirkan Halimah akan adanya banjir, benar-benar terjadi. Air dari sungai berlarian menuju rumah Halimah dan rumah-rumah yang berada di tanah kelahiran. Meski jalan sudah ditinggikan dan banyak dibuat plengsengan (sebutan untuk upanya memperkokoh bangunan biar
tetap kuat menghadapi pancaroba dan hujan yang turun dengan lebarnya). Air terus saja berdesakan, merapatkan barisan dan menabur ketakutan.
Namun Halimah tak gentar menghadapi banjir lantaran Halimah sudah mempersiapkan diri. Sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi. Berkas-berkah berharga sudah Halimah pindahkan kelantai dua rumahnya sementara mobil pribadinya sudah diungsikan ke tempat teraman
milik saudara kandungnya.
Halimah sekarang bisa tersenyum telah, lantaran banjir yang datang sudah diantisipasi. Lantaran banjir yang datang, sudah tak bisa mengambil sesuatu yang paling berharga dari dirinya sendiri. Namun Halimah tetap bersedih manakala melihat rumah tetangga dekatnya teredam banjir
Selamat datang banjir dan selamat pulang dengan kecewa, lantaran kali ini kau takkan pernah berhasil membawa yang paling berharga dalam hidupku. Halimah menuliskan sketsa hatinya dalam secarik kertas putih lalu melipatnya dengan rapi dan meletakkan di saku bajunya tanpa pernah dibuka kembali.
Junglorong, 20 Desember 2021
8.
MALAM NATAL PUTIH
Langit jelaga simpan hujan gerimis badai petaka, langit hitam terlapis mendung hujan kian lebat mengantar senja. Lampu padam entah sejak kapan, tinggal lilin yang masih setia menyala dalam temaram senja kubaca baris-baris kabar duka. Senja meremas merah jingga lumer merayap, hari ini sejumlah orang telah berpulang meski aku tak mengenal dekat mereka. Kamar mekar nanar memenjara angin putih, izinkan aku memanjatkan doa. Terima dan ampunilah mereka, ya Allah.
Baringkan mereka di tempat yang engkau muliakan. Amin!
Di antara guguran daun anggur musim berganti gaun warna kelabu. Lalu datang rindu sejuk abu-abu menyapu amarah gerah bumi pun membeku putih. Di rumah petani berdiri gagah pohon cemara di pojok berenda cahaya. Lalu mereka bernyanyi malam larut sambil menyruput alkohol manis hingga malam bergairah.Di antara rindu puisi mendekap hati yang sunyi setelah musim mengabarkan wangi aroma semi.
Sudah tercatat enam lima langkah sepasang angsa mematuk waktu di telaga. Perjalanan menyusul kekasih abadi dengan berlari sepasang rusa menapak padang rumput. Langit kelabu muram suiran serangga. Pemburu awas membidik sasaran saat cicit unggas bergema.
Awan hitam menyimpan harapan pertanian yang terpuruk takut membeku kaku lurus. Matahari kecilku meredup duka terpapar gelora terpendam. Melumuri tirai alam baruku yang semula redup memburam berjejak jelaga utara mulai bernas dan memancar merah pinky.
Ombak masih membentur-benturkan rahang dan taring ke karang hingga berbuih-buih memecah menyembunyikan pertikaian kita tentang umang-umang dan kepiting batu. Pasir menyimpan jejak-jejak purba peristiwa pertama pembunuhan anak Adam karena putusan pilihan yang tidak ditemui berkesesuaian. Penilaian kondisi fisik luar membakar kecemburuan yang mematikan dan memuncak membingungkan cara mengubur peristiwa. Setelah Tuhan mengirim dua burung gagak hitam yang berkelahi dengan korban mati salah satunya kemudian terjadi peristiwa gagak pemenang secepatnya mengebumikan gagak korban. Pelajaran pertawa merawat korban mati dalan pertikaian.
Tidak terceritakan ke mana terbangnya burung gagak hitam pemenang walaupun keturunan nenek moyang gagak masih berterbangan di sekitar kehidupan anak-cucu Adam untuk menandai ada tanda bangkai segar terlantar. Burung gagak hitam akan berkroak-kroak serak mengabarkan ke sesamanya.
Perkembangan manusia anak-cucu Adam menemukan wilayah baru menjadikan mereka riuh rendah bersuku-suku bangsa dengan bahasa dan budaya makin beda yang menjadi pemicu arah pertikaian dan pembunuhan. Pertikaian penguasaan wilayah maupun hasil bumi atau pilihan yang menentukan kuasa berujung pada perang antar suku selain perbedaan bahasa dan budaya yang senantiasa timbul menjadi titik krusial pertempuran. Burung gagak tidak dikirim lagi untuk mengajarkan cara langkah perawatan kematian peristiwa.
Dua anak lelaki kembar dan seorang lelaki setengah baya dengan dua tiket kereta anak dan satu dewasa berwarna hijau tua. Tiket kereta langsam bertulisan kota tujuan dengan transit di sebuah stasiun persilangan. Jarak tempuh sekitar tiga jam maka tidak banyak barang bawaan kecuali pakaian ganti selama dua tiga hari ditambah bingkisan oleh-oleh. Semuanya berlangsung dalam senyap dada masing-masing.
Kedua kanak tampak lesu seperti kehilangan gairah perjalanan. Beberapa penumpang siap beserta rombongan menanti di ruang tunggu. Beberapa saat lagi kereta akan memasuki Spoor 2. Gerimis mulai jatuh. Bertiga ayah dan dua anak kembar diam tanpa percakapan. Jam menunjukkan pukul empat sore. Matahari buram di balik awan gerimis. Kedua anak kembar menyimpan tangis yang akan tumpah di pangkuan ibunya bila kelak kembali, Ular besi itu menerobos gerimis dan masuk peron mengibas-kibaskan gerimis yang menempel di jendela dan seluruh lekuk tubuh kereta. Pintu kereta dibuka paksa para pemburu jasa angkut barang kemudian mereka melompat memasuki perut ular besi yang penuh penumpang. Derit rem roda besi menjeritkan rasa was-was dan masgul kedua anak lelaki kembar yang dipaksa pergi ke desa kakek yang belum terjamah jaringan listrik. Gerimis makin lebat dan petugas perjalanan kereta menyilakan masinis melanjutkan perjalanan hingga stasiun akhir tujuan walau petir meledak sesaat bersamaan peluit petugas yang bersahutan dengan terompet kereta.
Arjokutorejopurwo Des21.
KEPUTUSAN
23.01.2022:
(Ke-1) RM101: Putraery Ussin. “Orang Nun Jauh”. (PAID)
(Ke-2) RM100: CT Nurza. “Segalanya Tiada”. (PAID)
(Ke-3) RM99: Moh. Ghufron Cholid. “Perjalanan Air Mata”. (PAID to Rois).
TAMAT.