MEMBAYANG TAMAN
setiap kutulis, membayang taman
orang yang telah semayam. kucari
tanda baca, mengapa pula yang
kutemui huruf kematian
pada bangsal rumah sakit tak lagi
kubaca abjad yang dulu kusapih
sebagai diksi. hanya ngeri dan
waswas, maut pun memburu
mau kutulis kaki, abjad mengantar
langkah padaku ke pemakaman
yang lengang
para penandu, pelayat yang pucat
pada alfabet dan tand baca + angka
itu, sungguh aku lelah mengorek
kata riang. yang kuperoleh ialah:
mati atau duka
*
DI MANA KULETAKKAN PENA
di mana kuletakkan pena, aku lupa
aku ingin menulis, di mana abjad
abjad itu. nana tanda baca
karena tanpa itu bagaimana
kumainkan irama: amarah atau
duka, riang maupun sedih. sejak
lama aku lupa meraju abjadabjad,
tanda baca, dan nomornomor
berapa tahun usiaku? kapan kematian
mesti kuterima? itu perlu angka
dan kesedihan. perlu persiapan agar
aku ikhlas saat menerimanya
seperti kuterima riang
kedatangan kekasih
pada malam tiada orang
percintaan yang habishabisan
seperti aku pada kematian
— tulus dan tak menolak —
2020/2021
BUKAN UNTUK MENGUNJUNGIKU
hujan yang datang pagi ini
bukan untuk mengunjungiku
sebab ia tak rindu, aku pun tak punya
maka samasama berpaling,
dan tanah yang basah tak kuharap
melukis apa saja di sepatuku
di alis mataku, awan hitam
tetap menggayut. mungkin adalah
kabar duka di musimmusim kabung
orangorang luka. menandu amarah
dan cemas. mengutuk dusta, menelan
pilpil pahit. karena janji itu hanya
asap dari pecandu; bola yang
terbang setelah itu tak berwarna
seperti hujan yang tidak punya rindu,
datang sekadar piknik. membawakan
buaian ataupun menenggelamkan
apakah aku masih ada janji
hutang waktu yang belum kulunasi?
aku hanya hujan, katanya
Oleh:

*Isbedy Stiawan ZS.
kelahiran Tanjungkarang, Lampung. Menulis puisi, cerpen, esai, dan karya jurnalistik.
TAMAT.