
Saya lulusan kampung berandal,
tapi sungguh tak pernah bisa ikuti
irama anakanak yang dikenal preman
kala saya kecil. selain menunggu
para penjudi menjatuhkan kartu di atas
tubuh nisan. setelah berserakan uang
saya ramut beberapa lembar untuk
beli makan, rokok, dan minum kopi
agar tak tertidur di kuburan sebelum pagi.
Saya tak pernah jadi anak berandal,
karena itu tak punya pensiun. kecuali
saya biasa mabuk anggur, arak obat,
daun ganja — kadang biji kecubung
dan jarak yang diisap serupa rokok — sampai
saya lupa pada ibu dan ayah. duduk di sampah
pasar ikan, seperti di kursi empuk. esok subuh
sadar celana putih gaya elvis lembab dan pengap
aroma ikan dan kotoran lainnya! kawankawan
terbahak melihat celana saya tak lagi putih.
Saya bukan lulusan penjahat. meski kepala penjual mie tektek pernah luka karena
tercium ujung clurit ketika ia meminta bayaran
usai saya dan kawan menyantap mie rebus, nikmatnya karena lapar dalam mabuk.
Dan saya tak berani gratis saat tukang sate
menyerahkan arang berapi saat saya minta
untuk menyalakan rokok. niat awal ingin gratis,
apa daya kami patungan merogoh uang setelah
saya terima api yang membara di tangan penjual
sate asal madura. saya dan kawan bagai kucing
disiram air berulangulang.
Dingin panas seluruh badan;
wajah saya pun pucat
(padahal saya sudah mulai belajar bela diri agar pukulanmu tak sampai tubuh)
sepertinya saya tak punya kemampuan,
ayam jantan dari pelosok kampung.
Oleh:

Isbedy Stiawan ZS. (Biodata Lengkap: Klik SINI).
2020.
TAMAT.
Posting puisi dong, Pak! Hehe
LikeLike