kumpulan esei
Abdul Wachid B.S.

SASTRA, SASTRAWAN, RITUS, RELIGI
© E-sastera Enterprise
BIODATA PENULIS

Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan lulus Program Studi Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (15/1/2019). Buku-buku karya Wachid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014). (14) Buku puisi, Nun (2017). (15) Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020). E-mail: abdulwachidbs@gmail.com.
KARYA (ESEI)
SENARAI TAJUK
(1) Situasi Penciptaan Sastra yang (Ber)-Pribadi. (2) Sastra, Sastrawan, Ritus, Religi. (3) Religiositas Islam dalam Sastra. (4) Cintalah yang Menjadi Mata Kita.
1.
Situasi Penciptaan Sastra yang (Ber)-Pribadi
Seorang kawan saya, yang bercita-cita jadi penyair yang betul-betul penyair, bukan penyair penggembira, sering datang ke rumah saya. Tiap kali datang, tiap kali pula mengeluh sebab sajak-sajaknya selalu ditolak redaktur. Untunglah dia tidak berputus-asa. Mirip Sisipus yang menggelindingkan batu-batu sebab dikutuk dewa, dia pun menggelindingkan sajak-sajaknya ke koran. Sampailah suatu hari dia datang sembari berjingkrak-jingkrak, “Satu sajak saya dimuat! Sayalah penyair!”
Apakah saya bahagia melihat kebahagiaannya? Saya tahu persis, sepanjang setahun penuh dia telah berkirim sajak-sajaknya, setiap Minggunya dengan satu amplop tebal, dan kini baru dimuat satu sajak? Baiklah, mengenai dimuatnya itu, saya pun turut bersyukur. Tetapi, saya penasaran dan bertanya, “Bagaimana sajak yang itu dapat dimuat, sedangkan yang lain tidak?” Jawab dia, “Saya juga heran, yang dimuat itu justru yang asal saya tulis begitu saja, bahkan bukan sajak yang saya unggulkan.”
Memang, “asal tulis begitu saja” tidaklah sama dengan “menulis asal-asalan”. Pada yang pertama justru mengandung keseruangan dan kesewaktuan, yang berupa ledakan kreativitas secara serentak antara kekayaan batin dan kekayaan cara mengungkap melalui bahasa.
Memang, sepintas lalunya penyair yang betul-betul penyair dalam menulis sajak yang betul-betul sajak, kelihatannya tidak memerlukan persiapan apa-apa. Tetapi, sesungguhnya tidaklah segampang kelihatannya. Saat-saat kreativitas dalam menulis sebuah sajak boleh jadi singkat, tetapi proses yang dapat melahirkan kreativitas itulah yang panjang. Dalam proses itu, penyair yang betul-betul penyair tidaklah tinggal diam, dengan sendirinya dia memperkaya batin, memperkaya kemampuan bahasa, kemampuan imajinasi dan kepekaannya.
Subagio Sastrowardoyo pernah berpendapat bahwa kemampuan tersebut tergantung kepada bakat alam. Saya pun sependapat. Namun, pendapat Thomas Alfa Edison juga benar bahwa untuk mencapai sesuatu orang hanya memerlukan 1 % inspirasi, tetapi selebihnya 99% perspirasi alias kerja keras. Kita tahu di Yogyakarta, jumlah penyair seperti banyaknya pejalan kaki di trotoar Malioboro, dan boleh jadi sajak yang mereka tulis sama dengan bilangan bebatuan di sungai Progo. Tetapi, kuantitas itu belumlah melahirkan kualitas. Hanya beberapa penyair yang betul-betul penyair, yang menulis sajak yang betul-betul sajak. Hal demikian sebab tidak adanya keseimbangan antara cita-cita dan kerja keras untuk mewujudkannya. Tidaklah mengherankan jika sebagian besar di antara mereka hanya terdengar sebentar, lalu menghilang begitu saja. Atau, kalaupun bertahan hidup kepenyairannya, tetapi perpuisiannya cumalah megap-megap, dan hanya berkubang sebagai penyair penggembira.
Kuantitas yang tidak melahirkan kualitas itu memperlihatkan perpuisian demikian tidak memiliki pribadi yang kokoh, yang mandiri. Pribadi adalah pribadi, dan kolektif adalah kolektif. Tentu saja, pribadi yang mandiri tidak gampangan hanyut di dalam kolektivitas. Karenanya, perpuisian dari penyair yang berpribadi mandiri menegakkan otentisitas, dan hasil sastranya pun tidak sekadar hasil peniruan cara ungkap maupun pemikiran dari penyair lain. Penyair yang kerjanya hanya meniru-niru sebenarnya telah mengkhianati kemampuannya sendiri. Dengan begitu, dia telah bertindak tidak jujur sekalipun kepada dirinya sendiri.
Seorang penyair tidak lain adalah seorang pejalan sunyi di tengah keramaian. Dia sendirian dalam upaya menegakkan pribadi di dalam diri dan sajak-sajaknya, meskipun sentuhan sosial senantiasa ada sebab dia toh tidak hidup sebagai pertapa di hutan. Karena itu, perpuisian yang berpribadi dari tangan penyair yang berpribadi tidaklah direkayasa secara kolektif, apalagi oleh ideologi semacam “politik adalah panglima”. Pada tataran estetika boleh jadi masih dimungkinkan, namun hal itu pun mempolitisir estetika namanya.
Dalam kesendirian menegakkan pribadi itu terbukti bahwa tidak ada sekolah resmi bagi kepenyairan, dan tidak ada legitimator yang normatif. Tetapi, hal ini justru keadaan yang mencerminkan adanya kesungguhan dari pribadi tersebut sehingga kepenyairan lebih berada dalam wilayah eksistensial :
…..
Setelah terasing dan terusir dari kotamu
Aku lalu kembali. Memelukmu manusiaku
Bersemayam dalam kehijauan lembah hatiku
Begitulah penyair Santosa Warna Atmaja mengungkap dalam sajaknya. Ungkapan itu boleh jadi maknanya tidak sama antara pembaca satu dan lainnya, seperti menerima rumusan matematika bahwa 4 x 4 = 16, dan karenanya bersifat eksistensial. Kepenyairan dan perpuisian dengan demikian menjadi otentik, bahkan pencerahannya dapat merangsang perubahan dari “Mitos-mitos Kecemasan” menjelma menjadi “Lautan Jilbab”, atau dari “Celurit Nipah” menjelma menjadi “Celurit Emas”.
Tetapi, jika perpuisian direkayasa secara kolektif, tentu kita tidak lagi menemukan pribadi di dalamnya, yang tinggal hanyalah pengulangan-pengulangan terhadap apa yang pernah dilakukan oleh sastrawan mapan yang berpengaruh, dan tanpa ada penilaian secara kreatif. Ketegangan antara inovasi dan konvensi yang semestinya menjadi jalan bagi kokohnya perpuisian yang berpribadi, pada konteks ini telah menghilang. Akibatnya tidaklah mengherankan jika ramai-ramai Forum Puisi Indonesia yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta, dengan mengundang duaratusan “penulis sajak”, gaungnya hanya sekejap. Hal itu disebabkan sikap mereka sendiri, yang menyerahkan kreativitasnya kepada sebuah iklim yang direkayasa oleh “Dewa” Kesenian sehingga sebagian besar mereka terperosok ke dalam epigonisme.
Memang, untuk menegakkan orisinalitas yang membawa pribadi mandiri itu, orang memerlukan kejujuran, sekalipun pengaruh mempengaruhi adalah hal yang tak terelakkan. Di samping itu, alasan klasik bahwa setiap hasil sastra bukankah penciptaan pertama sebagaimana Allah mencipta yang mempunyai kemutlakan. Tetapi, pengaruh itupun hendaknya diletakkan dalam konteks kejujuran sehingga menjadi tidak sekadar keterpengaruhan pasif, melainkan keterpengaruhan kreatif.
Baik dalam kejujuran maupun keterpengaruhan kreatif itu orang harus mencari, yang tidak lain dan tidak bukan adalah mencari dirinya sendiri. Cerminan dari sikap demikian sudah sering kita ketahui, sebagaimana dilakukan oleh Rendra dalam Ballada Orang-orang Tercinta yang berusaha keras melepaskan bayang-bayang perpuisian F.G. Lorca. Atau, Duka-Mu Abadi Sapardi Djoko Damono yang berusaha menolak dominasi Parikesit Goenawan Mohamad. Pengalaman yang sama terjadi pada Sutardji Calzoum Bachri, di awal kepenyairannya dia merencanakan penerbitan kumpulan sajak Kalung Kenang Buat Surtini Bachri (1969), tetapi dengan alasan yang masuk akal dia mengurungkan niatnya, bahkan membakar sajak-sajaknya itu. Alasan Sutardji :
“Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair!”
Memang, kita maklum bahwa dalam sajak-sajak awal karya mereka tersebut ada keterpengaruhan. Demikian pula dengan perpuisian Sutadji yang bersinggungan dengan perpuisian E.E. Cumming. Tetapi, kita harus menilainya dengan jujur. Dengan begitu, kita akan tahu bahwa sajak awal mereka itu tidak rendah mutunya hanya karena keterpengaruhan. Hal itu sebab mereka tidak menelan mentah keterpengaruhan, mereka menyikapi keterpengaruhan itu secara kreatif. Karena itu, pada hakikatnya mereka pun telah melakukan kejujuran sebab keterpengaruhan hanya diposisikannya sebagai pemicu bagi melesatnya kreativitas selanjutnya. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan :
“Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.”
Tentu saja, nilai abadi itulah yang hendak direngkuh penyair dalam kerja kepenyairannya sebab apa yang diharap dari sepotong puisi dari segi materi atau kebendaan, “selain separoh ilusi?/ Sesuatu yang kelak retak/ dan kita membikinnya abadi” (terimakasih Goenawan Mohamad atas puisi ini).
Pribadi adalah pribadi, yang apabila dibuka bajunya, di dadanya menyembul kejujuran. Dalam merealisasikan kejujuran itu orang memerlukan kesungguhan; kesungguhan dalam mendayahidupkan kekurangmampuannya, dan melebihhidupkan kemampuannya, baik hal itu menyangkut “bentuk seni” maupun “isi seni”. Perihal kesungguhan ini diidealkan dalam dua modus, yakni perimbangan antara kesungguhan estetis, dan kesungguhan pemikiran dalam hasil sastra.
Pada konteks itu, saya jadi teringat seorang sahabat, penyair Mathori A. Elwa. Pernah saya bertanya, “Bagaimana Sampeyan menuliskan citraan-citraan sebagus dalam sajak yang pernah dimuat sekotak dengan sajak Sitor Situmorang itu?” Jawabnya, “Ketika saya mengatakan ‘laut’ dalam sajak, sebelumnya saya sudah pernah bengong di pantai Parangtritis; ketika saya sebut “Tertimbun Buku”, saya pun sering menyaksikan seorang sarjana yang tidak dapat berpikir dan bertindak sebagaimana sarjana, lalu menganggur!” Kawan saya lain, cerpenis Shoim Anwar punya pengalaman berbeda sekalipun hakikatnya tidak berbeda. Cerpennya “Brundy Drummond” menceritakan kesintingan tingkah tokoh utamanya Brundy Drummond, yang hidup di tepian muara sungai Hudson, di teluk New York. Dia menjelaskan bahwa dia dapat menggambarkan setting Amerika dalam cerpen sebab banyak membaca mengenai tempat dan kebiasaan sinting pengarang negeri itu.
Saya sependapat dengan pendapat mereka. Tentu kesungguhan estetis semacam itu tidak akan meruang-mewaktu dalam karya sastra jika sastrawan tidak sedang membahasakan “kejujurannya” bahwa dia pernah “bersentuhan” dengan objek, atau mempunyai pengetahuan dengan baik tentang objek yang digarap dalam karya sastranya sekalipun melalui bacaan. Tentu hal demikian tak dapat diperoleh hanya dengan sepintas-lalu dan ber- malas-malasan. Bagaimana mungkin Ramadhan K.H. bisa menceritakan kehidupan koruptor dalam novelnya Ladang Perminus, jika dia tidak pernah suntuk mempelajari kasus korupsi di Pertamina tahun 1970-an?
Demikian pula dengan kesungguhan pemikiran yang ditampilkan sastrawan dalam karya sastranya. Sastrawan yang baik tentu tidak akan mempunyai pemikiran yang acak-acakan, karenanya dia tidak bermoral bejat. Korelasi demikian tidaklah sama dengan pengertian bahwa jika sastrawan menuliskan kehidupan tokoh wanita, maka terlebih dulu dia mengubah “anunya” sebagaimana Dorce.
Memang, dalam teori dan kritik sastra sekarang ada kecenderungan untuk memisahkan karya sastra dengan pengarangnya, bermaksud ingin objektif, netral dalam penilaian, dan bersih dari unsur pribadi pengarangnya. Tingkah laku Chairil Anwar yang acak-acakan itu toh tidak terucap dalam sajak-sajaknya. Sebaliknya, niatan Sutan Takdir Alisyahbana untuk mencipta sastra yang bertanggungjawab tidaklah sepenuhnya terealisir dalam novel terakhirnya (Kalah dan Menang). Saya pun sependapat.
Tetapi, tidak berhakkah kita mengukur relasi antara “kebenaran nilai” dalam sastra dan kebenaran nilai yang diyakini dan disikapi oleh sastrawan? Tak bolehkah kita menuntut kebersihan moral seorang sastrawan yang dalam karya sastranya selalu mengajarkan kebersihan moral? Salahkah jika dunia Islam menuntut kebenaran nilai yang ditampilkan dan dinyatakan di dalam Ayat-ayat Setan kepada Salman Rushdie?
Dengan tiadanya tanggungjawab sastrawan terhadap kesungguhan pemikiran dalam karya sastranya memperlihatkan bahwa apa yang ditulis hanyalah pura-pura alias omong kosong. Tiadanya kesungguhan estetis juga menjadikan karya sastranya tidak memiliki logika sastra. Oleh sebab itu, sekarang tidak terlalu salah jika masyarakat umum cenderung menyepelekan sastra. Padahal dalam masyarakat lama kita, kesusastraan pernah menjadi perhatian umum, pernah menjadi simbol budaya disebabkan oleh kesungguhan nilai estetis maupun nilai pemikiran di da- lamnya. Kesungguhan itu mewujud sebab terhayatinya hubungan antara sastrawan sebagai manusia dengan sesamanya, alam, dan Tuhan; antara nilai yang diyakini dan yang ditampilkan di dalam karya sastranya dengan nilai yang disikapi sastrawan. Tentu saja, pada saat ini pun hasil sastra yang tidak disepelekan oleh masyarakat umum sudah muncul, meskipun belum bermunculan secara banyak. Memang, hukum piramida berlaku, semakin ke atas semakin meruncing, dan sejarah telah membuktikan bahwa Amir Hamzah-Amir Hamzah tiruan lebih banyak dibandingkan dengan Amir Hamzah yang betul-betul Amir Hamzah.
Yogyakarta, 1993.
2.
Sastra, Sastrawan, Ritus, Religi
Ada ungkapan dalam bahasa Inggris demikian, “work is almost a religion with him,” baginya kerja hampir sama dengan agama.
Jika begitu, agama itu apa? Sebab kerja itu suatu perilaku manusia, dan setiap perilaku manusia dalam perspektif Kuntjaraningrat maupun C.A. van Peursen adalah kebudayaan, lantas samakah agama dengan kebudayaan?
Saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa agama tidak sama dengan kebudayaan. Agama, di dalamnya peran keilahiahan melalui ajaran yang disampaikan para Rasul-Nya demikian dominan, ada penataan yang dimulai dari “mencipta”, dari tiada menjadi ada, yang hal itu demi acuan untuk menata kehidupan manusia.
Sementara itu, kebudayaan oleh manusia, secara evolusi maupun revolusi, diciptakan dari bahan-bahan yang telah ada, manusia merancang, membentuknya, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal itu, sinaran agama memberi inspirasi kepada manusia untuk menghasilkan produk kebudayaan.
Jika begitu, apa maksud “baginya kerja hampir sama dengan agama”? Ya, itu sebuah ungkapan, yang tentu membawa makna. Sama kiranya dengan bahwa kerja itu ibadah jika untuk kebaikan. Jadi, ada peran yang mirip sekalipun tidak sama antara agama dan kebudayaan, dalam hal tatacara (rite) untuk menata kehidupan. Hanya saja, agama mengandung nilai keimanan terhadap kehidupan hari ini sebagai bagian tak terpisahkan dengan kehidupan setelah kematian (akhirat). Sementara itu, kebudayaan dalam perspektif materialisme, dicipta oleh manusia demi kemakmuran hidupnya di kesinian dan kekinian, tanpa mengaitkannya dengan kehidupan akhirat.
Kesusastraan (sastra) merupakan salah satu unsur dari kebudayaan itu. Sastra diciptakan oleh sastrawan yang tak lepas dari ideologi yang diyakini sastrawan, entah itu mendapat inspirasi dari agama-langit, agama-bumi (agama-budaya), maupun isme semacam kapitalisme, komunisme, atau sekadar spiritualisme personal sastrawan (yang dalam budaya Jawa disebut sebagai “lelaku”). Saya terkesan dengan Iman Budi Santosa, sebelum menulis sajak tentang buruh, dia selama beberapa bulan setiap pagi atau sore mengamati orang berangkat kerja dengan bersepeda dari Bantul ke Yogya, demikian sore harinya pulang kerja dari Yogya ke Bantul. Fantastis. Ini jelas sebuah ritus tersendiri yang dijalani oleh seorang Iman untuk sampai kepada “pertemuan” estetik antara dia dengan kosmos dan sajak.
Sastra merepresentasikan kehidupan, yang direpresentasikan oleh sastrawan atas pembacaan yang dilakukannya terhadap kehidupan. Pembacaan itu sendiri, bukanlah sebuah “pembacaan yang bersih” dari pengaruh ibu, bapak, tetangga, sekolahan, dan masyarakat-bangsa. Sastrawan membaca sekaligus dibaca oleh lingkungannya. Ia melakukan perlawanan, koreksi, atau sekadar melakukan internalisasi terhadap lingkungannya. Sastrawan melakukan transendensi, emansipasi, bahkan liberasi terhadap lingkungannya.
Lepas dari perdebatan Plato yang berprinsip bahwa hasil seni hanyalah tiruan alam, sebagai hasil tiruan tentu hanya jatuh sebagai produk kedua, lebih buruk dan tidak bermanfaat; namun, sastra memang miniatur dari kehidupan, melalui tokoh dan penokohannya membawa “berita” tentang manusia. Pembaca sastra dapat bercermin terhadapnya, dalam hidup kesementaraannya ia belajar banyak dari peristiwa orang sebelumnya (sejarah) sehingga mempunyai visi terhadap masadepan. “Kemarin dan esok adalah/ hari ini/ Bencana dan keberuntungan/ sama saja/ Langit di luar/ langit di badan/ Bersatu dalam jiwa,” begitulah ungkap Rendra dalam sajaknya. Dan, itulah sebabnya Horace sampai pada kesimpulan tentang fungsi sastra sebagai sesuatu yang indah dan bermanfaat (dulce et utile).
Tentang fungsi sastra itu, saya teringat kepada kisah “Seribu Satu Malam”, dan berkisah merupakan esensi dari sastra : syahdan sang Raja berkali berniat membunuh selirnya di awal malam, namun selir selalu dengan kisah-kisahnya menggulirkan malam sampai ke tepi pagi. Di ujung malam ke seribu satu, sang Raja sadar dan mengurungkan niat jahatnya itu sehingga berakhir hidup bahagia.
Tetapi, bagaimana sastra ditulis oleh sastrawan? Saya pun teringat kepada Ludwig Wittgenstein tentang bahasa religius. Menurutnya, hanya sebagian dari pengalaman religius yang me-wadag ke dalam bahasa, selebihnya hanya tinggal sebagai pengalaman itu sendiri yang tanbahasa.
Apa yang disebut pengalaman religius itu ada dua pendekatan : pertama, melalui pengetahuan tanpa harus jadi pelaku serius dari pengalaman itu; kedua, sebagai pelaku. Sehubungan pendekatan pertama, pada dekade 1980-an Abdul Hadi W.M. melalui rubrik budaya di Berita Buana yang diasuhnya, mengibarkan sastra sufistik. Fenomena tersebut dapat sambutan tak hanya dari pelaku sufisme yang menulis sastra, melainkan dari siapapun mereka yang ingin sajaknya dimuat di koran itu. Karenanya, mereka memainkan idiom yang biasa dipakai oleh sufi-penyair seperti Rumi, Hafiz, Attar, dan semacamnya. Sampai-sampai Emha Ainun Nadjib merasa gerah dengan idiom sufistik yang sekadar main-main itu, dan tegas mengatakan bahwa tidak ada sastra sufistik itu di Indonesia, apalagi sastra sufi. Tetapi, setidaknya masa itu gairah kepada literatur agama menjadi hidup, ini hikmah yang lain sehingga hari ini kita memiliki penyair seperti Isbedy Stiawan Z.S., Acep Zamzam Noor, Mathori A. Elwa, untuk menyebut beberapa nama.
Namun, bukankah religiositas tidak selalu dihubungkan dengan agama (religi/religion)? Ada religiositas yang tumbuh sebab religi, dan ada yang tidak sebab religiositas itu perasaan keagamaan (menurut William James), atau penghayatan terhadap hidup (menurut Romo Y.B. Mangunwijaya). Banyak pelaku religi yang tidak religius, sebaliknya banyak orang tidak beragama secara formal namun perilakunya cocok dengan anjuran agama. Hal itu sebab religiositas merupakan bawaan manusia (menurut Murtadha Muthahari), yang kemudian menghasilkan budi baik.
Sastra yang punya keindahan dan kemanfaatan itu selalu lahir dari penghayatan terhadap hidup, dengan tidak perlu memperdebatkan apakah hal itu dari “lelaku” empiris, ataukah sekadar pengetahuan terhadap pengalaman religius. Jika sastra memiliki pengetahuan yang dapat dimaknai pembaca, setidaknya sastra demikian merupakan buah dari hal yang diyakini sastrawan. Pesan itu tidak harus transparan-didaktik seperti bahasa agama, tetapi bisa mengambil posisi sebaliknya, seperti ungkapan “si Kali Mati” Joni Ariadinata, “Cahaya itu ada sebab ada kegelapan, tanpa eksistensi gelap, cahaya tak mungkin ada, dalam cerpen saya bercerita, gelap itu ada.”
Disebabkan penghayatan terhadap hidup ini sehingga sastrawan menjadi obsesif, dan menjadikan ia mencenderungi suatu secara terus-menerus. Rendra selalu menyuarakan pembelaan terhadap “Ballada Orang-orang Tercinta” yang tertindas secara struktural ataupun kultural, terutama kepada kaum wanita, seperti dalam sajak yang kisahnya bersambung ini yaitu sajak “Aminah”, Maria Zaitun dalam sajak “Nyanyian Angsa”, dan “Perjalanan Bu Aminah”.
Sebelum sastrawan menulis ada upacara bersih diri (rite/ritus) tertentu yang dijalani oleh sastrawan. Tentu saja, pengertian ritus dalam agama dan di luarnya mempunyai kesamaan dan perbedaannya.
Ritus Bahasa
Syahdan, penyair Dylon Thomas tatkala akan menulis sajak, dijajar-jajarkannya sajak Charles Boudelaire, Arthur Rimboud, Paul Verlaine, John Done, sajak-sajak yang ia gandrungi. Ia membaca berulangkali sajak-sajak di hadapannya itu. Ia tiru-tiru kata-kata tertentu untuk memulai penemuannya, seakan ia seorang ahli kimia kata-kata, campur ini, campur itu. Begitulah upacara penemuan bahasa (ritus bahasa) yang ia jalani, sampai suatu sajak ia hasilkan. Apakah ia melakukan pencontekan? Mulanya iya, tetapi ritus itu menjadi proses. Dalam menjalani ritus bahasa itu ia leka (hanyut) kediriannya, dan tatkala sajak jadi, ia tersentak, “dalam sajak, aku ada”. Lalu, sejarah pun mencatat bahwa Dylon Thomas seorang sastrawan penerima Nobel dari Inggris, tanpa kritikus harus menilainya sebagai seorang plagiat.
Boleh jadi, Dylon Thomas miskin bahasa, ada keraguan untuk menemukan bahasa, dan hal itu ia siasati dengan cara “pembacaan” terhadap karya sastra yang dikaguminya. Namun demikian, ia kaya pengalaman hidup sehingga hal itulah yang membedakan antara karya sastranya dan karya sastra yang dikaguminya, dan itulah buah dari ritus penemuan bahasa.
Ritus Pengalaman
Carl Sanburg barangkali seorang penyair Amerika yang paling gigih. Ia beristri seorang doktor antropologi yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Chicago. Istrinya amat memaklumi pekerjaan suaminya, seorang penyair. Tiap hari Sanburg keluyuran mencari ide sebab ia punya target bahwa 1 hari minimum menghasilkan 1 puisi, dan payahnya ia tidak dapat menulis satu sajak pun jika tanpa keluyuran terlebih dulu. Namun begitu pulang, Sanburg langsung masuk kamar kerjanya, lalu tik-tik-tik ….. jadilah sajak, terkadang bahkan banyak sajak.
Konon, 20 tahun Carl Sanburg berobsesi karyanya dimuat di jurnal sastra yang paling bergengsi, Chicago Poem. Tiap ada karya baru, pastilah ia kirim ke jurnal itu. 20 tahun, dan hasilnya nol! Namun, setelah masa-masa melelahkan itu, tatkala beberapa sajaknya dimuat di jurnal itu, Sanburg langsung dikenal secara luas di negeri Paman Sam. Akhirnya, Carl Sanburg mendapat Pulitzer, penghargaan tertinggi di Amerika untuk bidang kepenulisan.
Carl Sanburg miskin pengalaman, tetapi kaya ekspresi kebahasaan. Karenanya, ketika pengalaman telah didapatnya, maka ia tidak mengalami kesulitan mengekspresikan pengalaman itu ke dalam bahasa sajak. Ia butuh upacara untuk menemukan pengalaman itu, ritus pengalaman itu.
Begitulah kisah semacam itu menjadi ritus sastra, dan banyak kita jumpai melekat pada kehidupan kesastrawanan Chairil Anwar, Rendra, Emha Ainun Nadjib, K.H.A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, dan lainnya, bahkan kerap jadi mitos seseorang. Seperti halnya mitos kepenyairan Umbu Landu Paranggi, sampai-sampai antara mitosnya dibandingkan dengan karya sastranya, lebih dikenal mitos kepenyairannya.
Ritus sastra pada akhirnya jadi bagian dari keyakinan-budaya seorang penyair sekalipun hal itu tak juga bersih dari pengaruh keyakinan-agama. Hal itu sebab seringkali agama lebih dominan menampakkan dirinya melalui “baju-baju” budaya setempat, tetapi tidak untuk hal-hal yang berkait dengan konsep ketuhanannya seperti rukun Islam dan rukun iman. Dalam menjalankan ritus sastra, sastrawan yang memiliki religiositas-religi, tentu ada rambu-rambu untuk tidak menerjang nyala cahaya religinya. Nyala cahaya religi itu tentu saja tidak dapat lepas dari ritus religi. Ritus itu merupakan kekhususan tata-cara untuk menjalankan keyakinan-keyakinan, budaya, bahkan agama. Karenanya, ritus suatu religi tidak dapat ditumpang-tindihkan sekalipun semangatnya, nilai-nilai yang melatarinya, boleh jadi memberi pengaruh kepada ritus-ritus budaya. Seperti halnya ritus sastra yang dilakukan oleh seorang sastrawan akan dipengaruhi oleh ritus-ritus dari religinya.
Agama tidak saja mengandung nilai etik, melainkan juga estetik. Diungkap oleh Ludwig Wittgenstein bahwa pengalaman religius hanya dapat mewujud sebagiannya melalui bahasa religius yang bersifat analogis. Karena bersifat analogis, maka bahasa religius menjadi bahasa sastra.
Sekalipun pernyataan tersebut masih bisa diperdebatkan sebab kualitas agama tidaklah sama. Ada agama yang terbatasi oleh kontekstualitas jamannya, hal ini terutama pada agama-budaya yang lahir dari respon manusia terhadap kehidupannya sendiri. Pada umumnya, agama-budaya tidak memiliki kitab suci yang abadi dalam perjalanan sejarahnya, selalu berubah menyesuaikan pikiran jamannya sehingga ekspresi risalahnya yang mungkin semula sastrawi, kemudian mengalami keretakan, bahkan kehancuran.
Pada agama-wahyu tidak demikian halnya, yang dalam ungkapan Muhammad Iqbal, “sikapnya terhadap kebenaran tertinggi berlawanan dengan batas manusia, ia menambah haknya dan tak ada gambaran yang dipertahankan selain pandangan langsung tentang kebenaran itu sendiri.” Oleh sebab itu, agama-wahyu tahan terhadap perubahan budaya manusia, bahkan menarik perubahan budaya yang melenceng kembali kepada “…..jalan yang benar, jalan yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat” (QS. al-Fatihah, ayat 6-7). Karenanya, ekspresi kebahasaan dari risalah agama-wahyu tidak mengalami perubahan sehurup pun sehingga aspek kesastraan bahasanya pun asli dan utuh, dan al-Qur’an adalah contoh satu-satunya.
Pada pemeluk Islam yang mendalam, pengalaman religius yang etis sekaligus estetis itu sering mendorongnya untuk mengekspresikannya ke dalam bahasa sastra sebab begitu kuatnya pukau dari bahasa sastra al-Qur’an. Dengan begitu, hidup berkebudayaan menjadi menemukan arahnya yang benderang sebab cahaya ketuhanan (al-Qur’an) selalu menuntunnya. Seperti diungkapkan oleh Dr. Aqil Siraj bahwa kandungan kitab ini yang dogmatis tidak lebih dari 10% sehingga ekspresi kebudayaannya dapat melakukan internalisasi dengan perilaku budaya lokal. Hal ini yang dilakukan oleh Wali Songo dengan memberi ruh kepada ekspresi budaya setempat sehingga ada sinergi antara hidup individual-sosial dengan seni dan agama. Hal tersebut kita mendapatkannya tidak secara dogmatis. Ini yang di jaman kemudian, Ahmad Tohari tidak segan-segan menulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, padahal Ahmad Tohari adalah orang yang lahir dan hidup di lingkungan keluarga santri sampai hari ini.
Sementara itu, religiositas juga ada pada pelaku agama-budaya, yang hal itu juga memberi pengaruh dari wacana sampai praksis kehidupan seorang sastrawan.
Penghayatan masing-masing pelaku agama ini menjadi pengaruh yang besar kepada ritus satra yang dijalaninya sebagai sastrawan. Baik ritus di luar maupun ritus di dalam agama berhubungan erat dengan karya sastra seseorang. Hal itu sebab ritus pun menuntut totalitas penghayatan seseorang kepada kehidupan, yang hal ini menjadikan karya sastra yang ditulisnya tidak cuma berbadan, melainkan juga memiliki ruh sehingga bermakna dan dapat dimaknai bagi kehidupan manusia.
Karya sastra dengan latar konseptual demikian tidak akan lapuk oleh perubahan jaman sebab dapat menjadi cermin bagi kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Begitulah dengan karya sastra yang ditulis oleh Dante, ataupun Gothe di belahan bumi Barat. Padahal, hasil karya lain yang diciptakan oleh manusia pada jaman yang sama, pastilah telah musnah, sedangkan di belahan bumi Timur :
Dari Sanai sampai Iqbal
Lagu penyair adalah cinta
Di mana pun kelopak kembang ini mekar
Dari kasihsayang-Nya semua berasal
Yogyakarta, Desember 1999
171
3.
Religiositas Islam dalam Sastra
- Religiositas dalam Sastra
Dalam The World Book Dictionary, kata religiosity berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Akar kata tersebut adalah religion atau sering disebut religi. Konon, kata religi berasal dari kata religo yang berarti “menambatkan kembali”. Atau, dalam pengertian N. Drijarkara ialah “ikatan” atau “pengikatan diri”. Dalam pengertian ini lebih kelihatan personalitasnya sehingga lebih kelihatan dinamis sebab lebih menonjolkan eksistensi kemanusiaan.
Jika begitu, bereligi berarti menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan. Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan (fear to bad), perasaan dosa (guilt feeling), kebesaran Tuhan (God’s glory).
Religiositas ini oleh Paul Tillich, filsuf profetik, disebut sebagai “dimensi kedalaman”. Menurutnya, manusia dapat menjadi religius sebab dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan memperoleh jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan “menyakitkan”. Seorang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata ; yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini; dan mentransendensikan hidup. Orang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi tidak sebagai keharusan. Dalam konteks itu, ia rupanya memahami dari dua pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis. Di satu segi, Y.B. Mangunwijaya berpandangan bahwa agama hanya lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi dan yuridis, sedangkan di segi lain religiositas dipandangnya lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain.
Namun, Y.B. Mangunwijaya masih berharap bahwa paling tidak seorang agamawan sepantasnya sekaligus hommo religius. Sebagaimana ungkapan William James yang dikutip oleh Abdul Rozak, manusia religius selalu sadar dalam melaksanakan institusional religion, menghayatinya dengan sepenuh jiwanya sehingga ia pun kerap tenggelam dalam pengalaman religius yang merupakan puncak pengalaman estetis. Di sinilah tampak betapa dekatnya hubungan seni dan religi.
Ada religiositas yang memang bangkit dari pribadi non-agama. Namun, tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat suatu kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula orang memasuki lembaga Ilahi (agama), yang menurut Syekh Muhammad Abduh, bukan demi pemisahan, tetapi demi penuntunan ke arah makna yang baik. Jelas, saya sependapat dengan Syekh Muhammad Abduh, religi dan religiositas adalah satu kesatuan. Memang ini lebih islamis, di dalamnya “demi penuntunan ke arah makna yang baik” merupakan salah satu ciri khas religiositas yang autentik.
Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Demi “melihat” Tuhan itu pula penyair Amir Hamzah, melalui jendela hatinya, merasa berdekat-dekat dengan Tuhan, seperti yang ditulis dalam “Padamu Jua”:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu.
Dalam sajak tersebut Amir Hamzah menyampaikan dimensi religiositas yang penting, yakni manusia tidak mungkin menemukan dirinya tanpa terlebih dahulu menemukan Tuhannya, pencipta yang menjadi sumber keberadaannya. Segi lain religiositas ialah tolok-ukurnya yang hakiki, sebagaimana pernah diungkap Roger Garaudy, yakni untuk menyampaikan makna dari realitas yang tidak tampak, yang berada di balik gejala yang tampak.
Para penyair dan sastrawan lain yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini (realitas alam dan realitas budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan, yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitas pun jika ia tidak ilahiah. Hal ini merupakan penjabaran dari Laa ilaaha illallah. Untuk itulah penyair Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak “Walau”.
Walau
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
- Religiositas Islam dalam Sastra
Karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung moralitas. Menghadapi karya demikian pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca yang seperti itu amatlah wajar sebab sebagai pembaca yang baik tentu akan menilai nilai-nilai kesungguhan dalam karya itu, di samping kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan pengarang.
Perihal kesungguhan ini memang penting, baik itu kesungguhan estetis maupun kesungguhan moralitas. Kesungguhan estetis berhubungan dengan ekspresi kebahasaan karya sastra. Misalnya, sebelum seorang penyair menulis sajak tentang laut, tentu terlebih dahulu ia mesti mempunyai pengalaman tentang laut, setidaknya lewat bacaan, dan lebih baik lagi jika ia pernah hadir dalam situasi objek. Dengan demikian, ia akan dapat memadukan nuansa objek (laut) dengan nuansa subjektivitasnya (pikir) sehingga dari perpaduan itu diharapkan dapat memunculkan citraan sajak secara baik.
Demikian pula dengan kesungguhan moralitas. Pembaca yang kritis tentu menuntut keharmonisan antara moralitas-baik dalam karya sastra dengan kebaikan moralitas pengarang. Jika seorang pengarang tidak meyakini dan tidak pernah hadir dalam situasi nilai moral yang sedang ia citrakan dalam karyanya, tentu saja karya semacam ini perlu dipertanyakan “kebenarannya” (sekalipun pada konteks ini tidak identik dengan 2 x 2 = 4). Dalam pandangan Islam, kesungguhan teramat penting sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an sebagai berikut :
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya), kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali (QS., 26:224-227).
Kutipan ayat al-Qur’an itu justru lebih mengukuhkan bahwa moralitas-baik karya sastra mestilah diikuti moralitas-baik penciptanya. Hal ini menjadikan sastrawan muslim lebih berhati-hati dalam mencipta karyanya. Tidak setiap bawah-sadar kemanusiaan boleh ditulis, tetapi bawah-sadar kemanusiaan yang menjadikan hidup lebih bermakna saja yang layak disampaikan kepada pembaca. Jika Sigmund Freud mempercayai bahwa energi terbesar manusia terletak pada Id melalui libido seksual, maka religiositas Islam lebih menekankan pembentukan ego ke arah penyerapan Ego Tak Terbatas (Allah).
Pengaruh al-Qur’an akan kesungguhan ini menjadi pijakan bagi pengucapan moral dalam karya sastra religius Islam. Disebabkan pengaruh etik dan estetik al-Qur’an pula, banyak kepustakaan sufi diungkapkan dalam bentuk puisi sebab kenyataan al-Qur’an sendiri diungkapkan dalam bentuk puisi yang maha indah, kaya simbol dan imajinasi, serta sangat merangsang penciptaannya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir puitik. Contohnya dapat dilihat dalam kesungguhan estetis dan etik karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz. Selain karya sufi itu, di Indonesia juga ada karya-karya yang semacam itu, misalnya karya Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, dan K.H.A. Mustofa Bisri. Karya mereka tidak hanya berhenti pada estetika, tetapi melalui realitas yang dibangun di dalamnya, karya mereka itu menjadi simbol yang menyampaikan makna transendental.
Realitas dalam karya mereka dipahamkan sebagai alamat (ayat) Tuhan. Konsep demikian pernah disimpulkan oleh seorang peneliti dari Rusia, V.I. Braginsky, tatkala meneliti konsep kesusastraan Melayu Klasik, termasuk di dalamnya karya Hamzah Fansuri dan Amir Hamzah. Ia menyimpulkan tiga aspek konsep keindahan sebagai berikut: aspek ontologis-nya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan, yang disebabkan daya cipta-Nya, keindahan mutlak dari Tuhan (Yang Mahaelok = al-jamal), dikesankan pada dunia gejala (indah = husn); aspek imanen dari yang indah, yang terungkap melalui kata dalam wujud teratur, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia; aspek psikologis atau pragmatik, yang efeknya terhadap pembaca menjadi mabuk atau dimabukkan oleh alam.
Saya sependapat dengan V.I. Braginsky. Ada korelasi antara yang indah pada dunia gejala dengan Yang Mahaindah, yang istilah Muhammad Iqbal disebut Eros. Kesadaran terhadap keindahan ini digerakkan oleh keimanan kepada Yang Mahaindah.
Menjadi jelas bahwa konsep kesungguhan estetis ataupun kesungguhan moralitas dalam karya sastra religius Islam berpangkal pada al-Qur’an, tetapi tidak didasari penafsiran yang sempit. Contohnya karya sastra Muhammad Iqbal, yang di dalamnya justru ia dapat mengkritik tajam filsafat Barat. F.C. Happold pun mengakui bahwa di antara gerakan mistik di dunia, gerakan tasawuflah yang banyak melahirkan sastrawan besar. Karya religius semacam itu dapat dijadikan sarana pengungkapan hasil penghayatan kehidupan yang merujuk pada al-Qur’an dan Hadis. Ayat-ayat yang mengilhami banyak karya sastra religius, antara lain QS., an-Nuur:35-42, QS., al-Baqoroh:115, QS., al-Ankabut:20. Sebagai contoh, mari kita simak baris sajak “2” karya Emha Ainun Nadjib ini.
Tuhanku
Engkaulah cahaya langit dan bumi
pasti, sebab siapa yang lain lagi?
Baris sajak tersebut berintertekstualitas dengan QS., an-Nuur:35 ini.
Allah adalah cahaya langit dan bumi, cahaya-Nya bagai misykat, yang di dalamnya ada pelita…..
Namun, meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermanfaat (dulce et utile). Jauh hari Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa keindahan dan kemanfaatan mestilah dicapai dalam karya sastra :
Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri melalui Abdul Hadi W.M.).
Titik temu antara kesungguhan estetis dan kesungguhan etik atau moralitas, serta keindahan dan kemanfaatan inilah yang dapat menggeser anggapan bahwa kesusastraan hanyalah aktivitas lamunan belaka. Pada posisi demikian, kesusastraan religius dapat menjadi bagian penting dari gerakan Postmodern sebab mengaitkan kembali sastra dengan kehidupan yang lebih luas.
Yogyakarta, 1993.
4.
Cintalah yang Menjadi Mata Kita
Oleh Abdul Wachid B.S.
Kekasih, aku tak pernah menyangka, tak pernah merencanakan bahwa aku mencintaimu. Aku tak perlu bertanya, apakah engkau memiliki cinta yang sekadar dengan cintaku. Aku juga tak mau bertanya, dari keluarga yang bagaimana dirimu, kayakah, miskinkah? Seperti seloroh orangtua, “Seperti cinta monyet saja!”, maka sesuatu yang akhirnya kukenali sebagai cinta, muncul secara tiba-tiba di dalam diriku, menyergapku, memelukku, merasukiku, semua ini tanpa pernah kuasa aku tolak. Aku pasrah, tetapi bukan tidak berdaya. Aku menerima, tetapi bukan tanpa senang dan bahagia.
Cinta itu memasuki entah darimana bagian dari diriku, tanpa permisi, tahu-tahu sudah berada di dalam rumah diriku. Cinta itu kemudian menjadi jiwa. Dengan cinta yang menjadi jiwa, aku hidup dan dihidupi oleh cinta. Memang, dengan cinta, Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia, memeliharanya, dan kepada-Nya semua dan segala ini akan kembali pulang. Melalui cinta bapak dan ibu, maka lahirlah diriku, dirimu, diri manusia, yang dihidupi oleh restu cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Dengan cinta pula, seluruh tumbuhan, bunga-bunga, batu-batu, matahari dan planet-planetnya, alam raya, mendzikirkan cinta kepada Tuhan sehingga tidak saling bertumbukan satu dengan lainnya, dan karenanya kiamat menjadi tak terduga, kecuali Allah Yang Mahatahu atas segala awal dan akhir itu.
Kekasih, tidak ada cinta yang datangnya bukan dari Tuhan. Semua cinta pada mulanya dan akhirnya berujung ke haribaan Tuhan. Hal itu sebab cinta bersemayam di dalam jiwa, dan hanya yang menguasai jiwa sajalah yang mampu menumbuhkan, menggerakkan, dan meminta kembali cinta itu. Sebab itu, aku dan dirimu tak kuasa menolak cinta dari-Nya.
Cinta antara lelaki dan perempuan, pada pemahamanku, adalah bagian dari rencana Tuhan agar diri-Nya dikenali oleh ciptaan-Nya, oleh manusia. Sebab dengan begitu, kehidupan manusia dimulai. Dengan cinta lelaki dan perempuan itu, dari jam ke jam kehidupan manusia akan diisi dengan nilai-nilai cinta yang datangnya dari Tuhan; ataukah diisi yang datangnya dari jiwa yang tidak tenang yang bernama setan? Dengan cinta lelaki dan perempuan itu, manusia akan mengenali siapa diri ini, darimana kita datang, apa yang akan kita perbuat dalam kurun hidup yang singkat yang tidak lebih dari seratus tahun ini, dan kemanakah kita akan pergi, kemanakah kita akan hidup setelah hidup di dunia yang dibatasi oleh ruang dan waktu ini?
Dengan cinta, kita bangun tidur. Dengan cinta, kita memikirkan apa yang harus dilakukan di dalam sehari semalam ini. Dengan cinta, kita tidur untuk bangun, ataukah berlanjut kematian.
Karenanya, kekasih, aku bersyukur oleh sebab cinta yang hidup di dalam diriku, di dalam aliran darahku, di dalam udara yang masuk atau keluar dari nafas hidungku.
Aku mencintaimu, sebentuk makhluk perempuan yang berbeda dari diriku. Dari hidup dengan dirimu, lalu aku mengenal hidup, berpikir, berasa, berintuisi. Dari hidup dengan dirimu, lalu aku mengenal kenikmatan, keindahan, kelemahlembutan, dan semacamnya.
Dari mengenal dirimu juga, aku mengenal kekalutan, kecemburuan, kecemasan, tantangan, dan semacamnya. Dari mengenal dirimu pula, ternyata ada kejahatan, kesakitan, kesedihan, kemuakan, kesombongan, dan semacamnya. Dari adamu, kekasih, aku mengenal bahwa aku lelaki, dan kau perempuan. Dari mengenal diriku ini, bersamaan itu aku mengenal dirimu, aku mengenal Tuhan, lalu hidup di dalam keyakinan-keyakinan. Bagaimana aku akan hidup tanpa keyakinan-keyakinan? Bukankah aku akan terperosok di dalam keputusasaan yang sangat apabila tanpa keyakinan-keyakinan itu? Karenanya, kekasih, sekalipun silih-berganti antara kepahitan dan kemanisan, kesedihan dan kebahagiaan, kemarin dan hari ini dan menjelang esok, maka kau-aku tetap hidup dengan keyakinan yang kokoh sekaligus indah. Itu semua disebabkan oleh cintamu yang dikucuri oleh cahaya cinta yang paling hakiki, yakni Cinta Tuhan.
Tidak ada cinta apabila tidak dari Tuhan sebab semua cinta pastilah dari-Nya sebagaimana hidup ini dari-Nya. Cinta tiada lain adalah hidup itu sendiri; dan hidup, yang menghidupi tiada lain dan tiada bukan adalah Tuhan.
Tetapi, kekasih, aku menjadi teringat pada bagian sajak “Padamu jua” Amir Hamzah, “Satu, kekasihku/ Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa”; manusia diberi segala sesuatu yang lengkap oleh Tuhan, melebihi makhluk-makhluk yang lain, diberi perasaan, pikiran, dan intuisi, diberi hak-hak pribadi, yang oleh sebab itu manusia diberi kemerdekaan. Manusia kemudian memiliki kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri sekalipun kalau saja Tuhan meminta kembali hak-haknya, maka manusia tetaplah tidak berdaya. Justru karena Tuhan memberi kemerdekaan kepada manusia itulah, karenanya Tuhan Mahaadil, Mahakasih, Mahapenyayang, dengan 99 Nama yang mencerminkan sifat-Nya. Di saat manusia dengan potensi kemerdekaannya itulah, kita seringkali lupa bahwa cinta sebermula adalah dari jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Manusia lupa memaknai dan menempatkan cinta secara tepat sehingga jiwa yang gelisah (nafs al-lawwamah), jiwa yang marah (nafs al-amarah) dan jiwa yang biologis (nafs al-sufiyah), yang lebih mengisi cintanya, dan karenanya, cinta di situ telah kehilangan hakikatnya sebagai cinta yang ilahiyah sebagaimana fitrahnya. Di situ cinta menjadi bergeser dari peran-peran fitrahnya, yang mestinya menenangkan kalbu menjadi menggelisahkan, yang seharusnya membahagiakan menjadi amarah, yang pada hakikatnya suci memainkan peran-peran kemanusiaan sebagai makhluk bercinta dengan derajat cinta yang mulia menjadi sekadar gerakan tubuh di dalam sex yang memuaskan dalam kesementaraan belaka.
Oleh sebab itu, cinta tidaklah sama dengan sex sekalipun sex itu sendiri bawaan kebutuhan dasar manusia untuk mengekspresikan diri di dalam kenikmatan, di samping sebagai sarana melanjutkan keturunan, tentu saja dengan begitu sex hanyalah bagian saja dari cinta. Tidak ada sex yang indah dan memabukkan sekaligus bermakna tanpa adanya perasaan, pikiran, dan intuisi, yang bermuara kepada cinta. Kekasih, aku menjadi teringat kepada perkataan Erich Fromm di dalam The Art of Loving. Sekalipun filosof ini hidup di Barat, disebabkan ia berangkat dan kembali kepada hatinuraninya, maka ia pun sampai kepada kesimpulan bahwa “Kualitas sex akan ditentukan oleh kualitas cintanya.” Karenanya, ia menyatakan bahwa “Cinta membutuhkan pengetahuan, dan perjuangan”.
Tentu saja, cinta membutuhkan pengetahuan sebab bagaimana mungkin aku mencintaimu jika aku tidak mengetahuimu? Dan, tentu saja cinta juga memerlukan perjuangan sebab untuk mengetahuimu, aku juga membutuhkan perjuangan-perjuangan, setidaknya siapakah namamu, di mana rumahmu, apa saja yang akan membuatmu sedih dan bahagia. Jadi, aku wajib mengetahuimu, mengenalmu, dengan begitu, cinta kau-aku akan terus “menjadi”, setiap waktu, sesuai dengan perkembangan pengetahuanku tentang dirimu, tentang Tuhan yang menumbuhkan cinta kau-aku, terlebih mengenal tentang diriku sendiri.
Namun, kekasih, disebabkan oleh cinta pula, maka pengetahuan tentang segala sesuatu itu bisa bertambah, sebagaimana kata wanita sufi penyair terbesar, Rabi’ah al-Adawiyah.
Kita tidak sedang memperdebatkan, lebih dulu mana antara cinta dan pengetahuan. Bagi Erich Fromm yang sesungguhnya jauh hari sebelumnya sudah diungkap oleh Imam al-Ghazali di dalam Ihya’ ‘ulumuddin, memang cinta selalu didahului oleh pengetahuan sebab bagi mereka, “Tak kenal, maka tak sayang”. Tetapi, bagi Rabi’ah al-Adawiyah kemudian Jalaluddi Rumi, cinta itu sendiri bisa menggiring manusia untuk cerdas, untuk mengetahui, dan semua itu berlangsung tanpa beban sebab sebagaimana kau, kekasih, telah mencurahkan cintamu kepadaku dan karenanya membukakan kesadaran kemanusiaanku untuk ini atau untuk itu demi menyenangkan hatimu, dan tanpa terasa aku telah didekap oleh pengetahuan-pengetahuan yang melingkungi kehidupan kita. “Aku cinta, maka aku ada”. “Aku cinta, maka aku berpengetahuan.”
Memang, adakalanya aku membutuhkan pengetahuan untuk mencintaimu, demikian sebaliknya. Karenanya, kekasih, untuk pengetahuan itu, bacalah buku hatimu, bacalah buku lingkunganmu, bacalah buku alam semestamu, dengan demikian kau akan menemukan dan dapat memaknai cinta. Sebagaimana aku berbahagia menulis tulisan ini untukmu, tidak seberapa jika dibandingkan dengan pencarian pengetahuan dan pengalaman cinta yang sudah diselami oleh saudara kita, Sholeh UG, di dalam risalah cintanya, maka bacalah agar kau-aku mengetahui bahwa Cinta itu Berkah, Bukan Musibah.
Sungguh, aku mencemaskan pemikiran-pemikiran tentang cinta yang selama ini dihembuskan oleh beberapa kawan, dengan memanfaatkan kesadaran arus-balik di tengah jenuhnya terhadap modernisme. Ada baiknya kesadaran arus-balik kaum terpelajar terhadap perlaku budaya hari ini yang amat diwarnai oleh pencitraan kemakmuran tubuh, dan bukan sekaligus ruhani. Tentu saja, hal ini bisa saja kita menudingnya sebagai akibat kebijakan Orde Baru Soeharto bahwa kemakmuran adalah pembangunan, dan pembangunan adalah fisik sekalipun di dalam penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) selalu dikatakan “Pembangunan seutuhnya”, maksudnya jasmani dan ruhani. Tetapi, prakteknya pembangunan ini melulu jasmani, salah satu saja bukti dari itu adalah masjid-masjid boleh dimegahkan dan dibanyakkan, namun pengisian dari makna masjid itu sendiri dilarang keras untuk dipengajiankan kepada umat.
Kesadaran arus-balik itu bergerak dari lingkungan kaum terpelajar, yang boleh jadi amatlah beragam latarbelakang pendidikan keagamaan dari keluarganya, bahkan banyak yang semula kurang atau tidak ada pendidikan ilmu agama di dalam keluarganya. Perkembangan ini sebenarnya patut disyukuri. Dengan pengetahuan, memang, menggiring manusia untuk menemukan kembali “dimensi yang hilang” di dalam kehidupan keberagamaan di antaranya ialah dimensi rasa keberagamaan (religiositas). Namun, disebabkan pengetahuan yang terlampau sedikit dan tanpa perbandingan itu, bisa mengakibatkan kepada pemahaman akan pengetahuan secara sempit, bahkan memunculkan radikalisme. Dalam konteks pemaknaan terhadap cinta sehingga cenderung apriori, bahkan menilainya sebagai berkubang di dalam dosa. Hal ini disebabkan penempatan dan pemaknaan terhadap cinta secara sebagian saja, yang selalu berorientasi kepada sex. Karenanya, tidak terlalu mengherankan kemudian memunculkan istilah parodi, “Pemerkosaan atas nama cinta”.
Di sinilah, kekasih, aku sepakat kepada Imam al-Ghazali, “Cinta didahului oleh pengetahuan, dan amat memerlukan pengetahuan.” Sekali lagi, bacalah risalah cinta ini agar kau-aku menjadikan pengetahuan demi pengetahuan untuk menemukan cinta. Tidak sekadar sedikit dari pengetahuan, melainkan sebanyak mungkin pengetahuan untuk menerima dan atau memaknai cinta dengan jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah), yang tiada lain yakni dengan Cinta (mahabbah) itu sendiri. Kemudian, dengan menemukan (inayah) dari cinta, kau-aku akan mendapatkan anugerah (hidayah) yakni suatu keadaan (ahwal) di mana pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) itu menjadikan kita sebagai pencinta sejati, dan pengetahuan itu akan terus bertambah dengan ijin Allah, sebagaimana yang diyakini oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Hidup di dalam pengetahuan dan cinta menjadikan diri kau-aku menghadirkan, atau bahkan melebur di dalam sifat-sifat Allah. Insya Allah, amiin.
Kekasih, kalau sudah begitu, cintalah yang menjadi mata kita untuk merenungi, lalu melakoni hidup di dunia ini. ***
Yogyakarta, Januari 2004.
TAMAT.