kumpulan cerpen
Abdul Wachid B.S.

1000+ Interesting Sun Photos Pexels · Free Stock Photos

KHULDI

© E-sastera Vaganza ASEAN

Riwayat Penulis

Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan lulus Program Studi Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (15/1/2019). Buku-buku karya Wachid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron (2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014). (14) Buku puisi, Nun (2017). (15) Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020).
E-mail: abdulwachidbs@gmail.com

KARYA (CERPEN)

SENARAI TOPIK:

(1) Khuldi. (2) Jalan Gelap Langit Terang. (3) Gasing. (4) Suwung.

1. Khuldi

Setiap melewati jalan menanjak dan berliku. Aku ingat kamu, Hayati. Di mana cahaya matahari kuning keemasan itu. Membangun kita dari mimpi surga semalaman. Bukan semalam. Tapi bermalam-malam. Bahkan berhari-hari. Rambutmu bagai malam yang tergerai. Hidungmu adalah keindahan tak terduga. Bibirmu selalu menerbitkan birahi. Yang berkepanjangan. Seluruh dirimu menjadi magnit. Yang melebihi matahari. Bagi planet-planetnya.
“Aku tak punya siapa-siapa sejak kelas empat SD,” matamu menyusuri masa silam yang terkubur, tapi masih jelas sosoknya. Prahara berkepanjangan. Angin ribut. Rumahmu menjadi kosong. Dan kau memanggil-manggil Bapak dan Ibu di setiap tidurmu yang selalu sendirian. Kau kangen. Tapi Ibu membawa pergolakan hidupnya sendiri yang juga tak sampai-sampai.
Hayati tak mengerti, kenapa Bapak dan Ibu berumah sendiri-sendiri. Tapi ia cukup ceria dengan kesenangan barunya. Ada Ustad Malik yang biasa mengajarnya ngaji, kini turut serumah dengan Ibu. Ustad Malik, tetangga tiga rumah sebelah timur.
“Hayati, Ibu mencari ketenangan bersama Ustad Malik, “ Ibu tersedu. Dipeluknya Hayati yang matanya mengerjap-ngerjap bagai bidadari kecil.
Tapi perkataan yang hampir sama pula yang dikatakan Ibu tatkala Ustad Malik meninggalkan rumah Ibu. Saat itu Hayati matanya juga mengerjap-ngerjap. Ibu menangis. Kata Ibu, orang hidup butuh dunia, bukan melulu akhirat, dan Ustad Malik yang dulu meninggalkan empat anak dan istrinya, tak juga beranjak dari sekadar hidup yang itu-itu juga. Cinta butuh variasi, kerja, makan, minum, tidur, bahkan sekadar sehelai sarung. Ibu mengobral kata-kata. Dan Hayati meneruskan kebiasaannya, matanya bagai bintang, berkerlap-kerlip.


Setiap melewati jalan menanjak dan berliku. Aku ingat kamu, Hayati. Di mana cahaya matahari kuning keemasan itu. Membangun kita dari mimpi surga semalaman. Bukan semalam. Tapi bermalam-malam. Bahkan berhari-hari. Rambutmu bagai malam yang tergerai. Hidungmu adalah keindahan tak terduga. Bibirmu selalu menerbitkan birahi. Yang berkepanjangan. Seluruh dirimu menjadi magnit. Yang melebihi matahari. Bagi planet-planetnya.
“Ibu cukup senang dengan fasilitas dari Om Danu ini, Ti,” perkataan Ibu lirih sekali, sembari mengelus rambut Hayati yang ikal. Malam itu, bukan giliran Om Danu ke rumah Ibu. Barangkali ke rumah istri pertamanya. Seperti biasa Hayati akan banyak dapat cerita dari Ibu. Bagus-bagus. Ada kisah tentang gadis penjual korek api yang nestapa lantaran ditinggal meninggal Ibunya, sedang ayahnya adalah seorang yang tak berhati. Dan hati Hayati bergetaran saat Ibu bercerita tentang gadis miskin yang menjadi permaisuri Pangeran.
Tapi Ibu juga mengeluhkan Om Danu yang akhir-akhir ini jarang datang ke rumah. Mulanya seminggu sekali. Lalu dua Minggu sekali. Dan kini, telah sebulan belum juga datang. “Ibu haus kasih-sayang, Ti. Tak sekadar mobil mewah, rumah bertingkat, dan uang belanja yang cukup! Ibu hanya punya kamu! Hanya punya kamu, Ti!” Hayati turut menangis. Tapi airmatanya membawa wangi bunga. Ibu terheran-heran. Ia hanya kian yakin, putri tunggalnya ini akan membangunkan hidupnya untuk surga yang lebih kekal.
“Pada dasarnya semua orang bisa berbuat baik, ya, Ti,” kata Ibu, “Tapi kenapa Ibu selalu gagal?”
Hayati hanya membayangkan wajah Om Danu, perlente. Usia lima-lima tahun, belum lagi tua yang sebenarnya. Kebapakan. Tapi, sibuknya luar biasa. Pertemuan dengan Ibu lantaran soal bisnis ikan dan tambak. Mobil BMW hitam metalic itu anehnya kini memasuki halaman. Belnya khas. Hayati tahu, mungkin ini saatnya petir di rembang petang akan meledak, tanpa didahului gerimis, apalagi hujan lebat. Ibu memburu ke pintu. Menyerbu. Tapi ternyata tak lagi dengan kata-kata. Kebisuan itu mencekam. Hayati takut, takut sekali. Wajah Bapak yang kerap berkelebatan di antara wajah Om Danu dan Bapak pun menjadi sirna. Bahkan potret Bapak di dinding kamar tidurnya yang biasa ia tatap lama-lama, itu pun seakan menguning.
Sampai pagi, Ibu tidur di atas sofa. Dan Om Danu memang telah tak ada. Entah kemana. Tanpa pamit. Tanpa pernah kembali melengkapkan sosok Bapak pada alis dan bulu mata Hayati yang senantiasa bening, seperti telaga al-Kautsar.


Hayati senang berjalan dengan lelaki dewasa yang masih terlihat muda itu. Menurut tetangga, layaknya pacar Hayati saja. Tapi lelaki itu bukan si Pacar.
“Ti, kamu kini gadis. Kelas dua SMA lagi. Hati-hatilah, Nak…..,” itulah kata Ibu saban ia pulang sekolah dijemput Bapak mudanya. Hayati kerap berdebar-debar. Barangkali usia Bapak tirinya itu cuma beda sepuluh sampai tigabelas tahun dengan usianya. Ia tentram ada yang menghibur.
Ibu yang mewarisi sebagian harta sepeninggal Om Danu, meneruskan bisnis ikan dan tambaknya. Tapi Ibu tahu diri, suaminya yang berjarak usia sepuluh sampai tigabelas tahun lebih muda dari usianya itu diajarinya pula bisnis.
“Yang dibutuhkan dari seorang lelaki hanyalah bahwa dia itu lelaki. Itu saja sudah cukup, Ti,” Ibu kemudian mengurai hari-harinya dengan keceriaan seorang dara. Tapi juga tiba-tiba cemberut. Dan mengulang kata-kata cemas, “Kamu kini seorang gadis yang cantik, Hayati. Tak usahlah murahan…..”
Entah berapa waktu Hayati tak suka lagi menangis. Takut, mungkin, jika airmatanya membawa harum bunga. Jangan-jangan si Bapak Muda itu akan memetiknya? Sepeninggal Pak Ustad, Om Danu, sebenarnya ada juga si Bapak Tua. Tapi belum lagi sempat berbulan madu, seorang wanita menggendong anaknya, datang. Ditariknya Bapak Tua itu untuk pulang. Ya, pulang adalah kata yang kerap sekali dikatakan Ibunya, juga terhadap dirinya. Namun Hayati tak pernah mengerti.
Yang Hayati pahami, saban pecah hari-hari senyum kebersamaan Ibunya, para tetangga mulai was-was. “Siti Julaika yang cantik itu akan menebar mantranya lagi!” Itulah kata gemas tetangga tentang Ibunya. Hayati juga suka nonton sinetron Nyi Basingah, yang belajar mendendam sebab sering dituding menggoda suami orang. Bukankah pada dasarnya semua orang itu bisa berbuat baik? Tapi masyarakat terlalu kejam, semaunya merumuskan hidup orang lain. Tapi Ibu bukanlah pendendam. Jika para istri iri sebab kecantikan Ibu, dan menyebar kata-kata tajam, Ibu hanya tersenyum, dan melengos pergi.
Tapi jika Ibu juga menanam was-was seperti para istri tetangga itu terhadap dirinya? Hayati pusing. Hayati berdebar. Wajah Wapak Muda itu berdiri di antara wajah pacar idaman dan wajah Bapak biologisnya yang kini entah di mana.
Kewas-wasan Ibu itu memang tak usah menunggu terlalu lama. Ibu selalu mencari jawab, bagaimana dagang ikan ke Jakarta selalu rugi? Berapa kali katanya dirampok di jalan. Begitu parahkah keamanan negeri ini? Tapi Hayati toh di rumah. Tak ada pelarian sepasang kekasih yang mabuk asmara antara Bapak Muda dan anak gadis tirinya yang lari ke lain kota. Tak ada. Bahkan Ibu memeluknya erat-erat kini. “Hayati, Ibu capek. Ibu ingin bermimpi tentang surga yang kekal, Nak, surga yang kekal…..”
“Tidak, Bu! Ibu sangat kuat! Tak pernah lelah. Hayati kagum pada Ibu”
Di bening kedua bola mata Hayati kembali ada bintang. Berkerlap-kerlip, cahayanya meredup. Apakah Hayati terus-menerus akan kehilangan Bapak? Hilang orang yang memperhatikannya? Bintang di matanya kian surut, lalu tenggelam.


Cahaya matahari pagi menerobos kaca nako dan korden yang terawang. “Ini adalah tepian dari dunia,” demikian katamu tadi malam sebelum pacuan kuda akhir dimulai. Barangkali tak pernah akhir. Semalam suntuk. Pacuan kuda dalam angan dan nafas kehidupan.
“Mas Jati. Tenggelamkan dirimu. Ke dalam diriku. Biar laut menjadi kesadaran kita. Agar aku hilang di dalam adamu. Kaulah bayangan sejumlah bapak. Yang dihadirkan ibu di dalam hidupku. Kaulah, satu, lelaki. Ada kejantanan, keperkasaan. Uang juga ada, sekalipun sedikit. Tapi kamu tak pernah obral janji. Dan yang terpenting. Kau dapat melipat-lipat tubuhku. Kapan saja kumau.”
“Tidak cukup itu, Hayati. Aku mau penuh. Sepenuhnya…..”
“Bukankah kau telah merengkuh sepenuh itu?“
“Tidak sekadar itu. Aku mau sukmamu! Aku ingin berjaga terus-menerus di samping tidurmu.”
“Tidak, Mas! Jangan ganggu dia! Dia bagaimanapun suami-balas-dendamku atas pelecehannya di masa silam. Aku akan mendiamkannya, sampai entah! Yang kumau adalah harmoni!”
“Mungkin aku juga. Ya, harmoni. Bahwa hidupku terus-menerus dalam perjalanan yang tak berterminal atau berstasiun. Tapi, telpon saja aku, kapan pun kaumau. Telpon aku dengan, mungkin mantra, mungkin juga doa…..”
“Tapi, Mas. Suatu saat kita akan. Seperti bapak Adam dan ibu Hawwa. Tatkala para istri-formalistik telah mati. Saat para suami-kartu-nikah telah mangkat. Kelak Tuhan menciptakan. Surga-dunia dan surga-kekalnya. Setelah sekian khuldi…..
Mas Jati. Tenggelamkan dirimu. Ke dalam diriku. Biar laut menjadi kesadaran kita. Agar aku hilang di dalam adamu…..”
“Sekarang waktunya, sekarang…..”


Setiap melewati jalan menanjak dan berliku. Aku ingat kamu, Hayati. Di mana cahaya matahari kuning keemasan itu. Membangun kita dari mimpi surga semalaman. Bukan semalam. Tapi bermalam-malam. Bahkan berhari-hari. Rambutmu bagai malam yang tergerai. Hidungmu adalah keindahan tak terduga. Bibirmu selalu menerbitkan birahi. Yang berkepanjangan. Seluruh dirimu menjadi magnit. Yang melebihi matahari. Bagi planet-planetnya.

2. Jalan Gelap Langit Terang

Setiap cinta pada mulanya adalah cahaya. Sebab, cinta dalam eksistensi dan wujudnya yang paling dini dan akhirnya ialah kekaguman terhadap adanya sang Kekasih yang seada-adanya, tak kurang dan tak lebih. Karena itu di awal percintaan, aku tak mampu membayangkan wajahmu, lantaran kau adalah cintaku, dan cinta adalah cahaya. Bagaimana mungkin aku akan melukis cahaya secara sempurna pada kanvas mata wadag-ku? Melukis cahaya cintamu mestilah dari semua arah mata-angin, dan sekali lagi aku tak memiliki kemampuan untuk itu. Karenanya pula aku ingat pada ungkapan sajak Rendra : “Ma, nyamperin matahari dari satu sisi/ menatap wajahmu dari segenap jurusan…..”


Tapi, apakah sebab kau terlalu sempurna bagiku, maka aku justru merasa sebagai anak kecil terus-menerus. Kau menikahiku di usia belia, delapanbelas tahun, di saat aku baru saja lulus SMA. Di malam itu, di sebuah jembatan pojok desa, kita bertemu, hal yang amat mendebarkan bagiku, suatu yang belum pernah aku alami terhadap orang lain.
“Bagaimana, Hayati?” Ahmar berdebar menunggu-nunggu kepastian. Sebenarnya ini kali bukan pertama ia menaklukkan hati perempuan. Sebagai lelaki dengan wajah kecina-cina-an, kuning, bersih, dan anak seorang kepala Madrasah Tsanawiyah, tentu banyak gadis gandrung padanya.
Hayati kelu. Tapi, ia masih ingin melanjutkan kuliah. Tapi Hayati merasa sudah amat-sangat takut hidup seorang diri. Hidupnya dalam kesendirian sejak kelas empat SD. Ibu menjadi-jadi, kawin-cerai semenjak peceraiannya dengan Bapaknya. Ibu pindah dari satu rumah ke rumah lain, mengikuti suaminya. Hayati sendiri terus-terusan. Ibunya hanya datang seminggu sekali di hari Sabtu, itu pun diantar suaminya, yang akan mengajaknya bermalam Minggu. Paling-paling Hayati diberi uang, sekaligus dinasihati macam-macam, yang joroklah, yang inilah, yang itulah. “Anak gadis, kok kayak begini kemproh-nya! Ya ampun, Tuhan!” Begini lho. Begitu lho. Sejak itu Hayati belajar agar setiap perkataan ibunya tidak ia dengarkan, sebab hanya untuk sakit hati saja. Kalau Ibunya sudah bicara bla-bla-bla, Hayati membayangkan, kapan sang Pangeran akan menjemputnya dari dunia yang sepi ini, dunia yang membosankan, dunia yang memenjara. Barangkali inilah saatnya.
“Lho! Malah melamun!” Ahmar keki. Ia tak mengerti. “Sudahlah, Hayati. Kita akan menikah. Aku mencintaimu sepenuh hati. Aku akan selalu menemanimu. Kita hidup dari tambak bandeng itu. Kamu akan mengirimku makanan ke gubuk penungguan tambak. Kita akan bahagia, Hayati. Bahagia…..” mata Ahmar berbinar. Padahal bintang belum lagi kejora. Hayati terpana. Angin semribit. Cahaya lampu yang kerlap-kerlip di kejauhan adalah suluh bagi penambak. Wah, kalau tidak ditunggu bisa-bisa amblas panen nanti. Itu artinya nikah ditunda! Seperti malam ini, Hayati sengaja datang, di samping membicarakan ikhwal nikah, juga mengirim Ahmar sekedar makanan. Ini gilirannya jaga tambak. Bapaknya besuk pagi akan upacara di sekolahannya, khawatir karipan.


Aku tak pernah membayangkan bahwa aku menikah denganmu di saat kau sudah menduda. Tepatnya di saat kau bermasalah dalam hidupmu. Perempuan yang sering mengutangimu di saat kau kuliah di Jakarta, ternyata bunting, dan punya anak. Dan kau terpaksa menikahinya. Dan kau tak pernah mengumumkan pernikahanmu kepada sanak-keluarga, apalagi tetangga. Jarak desa ini dengan Jakarta tentu amatlah jauh. Perempuan itu akhirnya kuketahui, berasal dari Cilacap. Dan kini aku harus menjadi saksi atas perceraianmu, dengan berbuah anak lelaki satu. Astaga! Dosa apalagi ini, Gusti! Aku menurut. Memang aku selalu menurut, tanpa kata, seperti kepada Ibuku, Bapakku, dan para Guru di sekolah. Aku menurut, tapi cuma di depan mata. Hatiku berontak. Pikiranku membatu. Aku di Yogya yang semula saban seminggu sekali pulang desa, kini rasanya enggan, bosan, dan akhirnya perlahan muak. Toh tak ada kawan di Yogya yang tahu bahwa aku telah menikah.
“Kamu harus pulang! Harus!” Ahmar meradang, tapi cuma di telpon. Aku diam. “Ya, Mas…..” Suamiku itu mengancam, kalau aku tak pulang, dia yang akan ke Yogya. Dia akan menyebar berita bahwa Hayati sudah punya suami, kepada kawanku, kepada dosenku, kepada Ibu Kosku. Dan entah sebab apa, aku tak mau identitasku diketahui orang. Aku takut. Mungkin sebab aku kecewa bahwa aku telah menikah dengan seorang duda, seorang yang dulu kubanggakan, dan berharap ia jadi pangeran yang akan membawaku meninggalkan neraka rumahtangga ibuku. Nyatanya, dia justru drop-out dari kampusnya. Dia menjadi petani tambak, persis seperti lamunannya tatkala meminangku. Itu pun petani tambak yang seolah-olah saja bekerja, padahal uang rokok, makan, dan tetek-bengek kebutuhan justru dari Ibuku. Ia memang bisa menyenangkan hati Ibu, entah bagaimana caranya, yang jelas tiap perkataannya Ibu selalu senang, dan membenarkannya. Sedang padaku yang anak perempuannya, dan satu-satunya, Ibu selalu menganggapku sepi.
Tapi untuk kali ini aku akan bilang “Tidak!” kepada semuanya. “Aku tak mau peduli!” Terdengar telpon dari sana dibanting. Aku hanya diam. Kosong.


“Mas Jati, aku kangen. Hayati takut hidup…..”
“Jangan. Kamu tak perlu takut. Ada Mas Jati. Hidup perlu keberanian.”
“Sampai kapan kita saling mencintai? Denganmu aku serasa punya kawan, punya kakak, punya Bapak, punya segalanya! Tapi aku takut dosa…..”
“Aku juga. Tapi, cinta memang sempurna. Cinta tak pernah koma. Cinta selalu penuh, dan titik. Cintalah yang akan membimbing kita dalam penebusan dosa…..”
“Sudah ya, …..Mas Jati, kita harus segera bertemu! Besok? Harus! Aku amat perlu suluh cahayamu itu. Mas ada waktu kan?!”
“Ya. Di masjid kampus? Atau di Kantor Urusan Agama? Ha ha…..”
Telpon ditutup. Tapi Hayati kian terkatup. Hanya angannya yang mengambang. Dia ingat kepada Bapaknya. Tapi Mas Jati bukan Bapaknya! Mas Jati jauh lebih muda duapuluh tahun dari Bapaknya. Dan lebih tua sepuluh tahun dari umurnya. Membayangkan wajah Mas Jati, di mata angan Hayati amatlah jelasnya. Tapi, wajah Mas Jati sering tertumpuk juga oleh wajah Ahmar suaminya. Sejauh ini ia dan Mas Jati tidak berani pergi jauh-jauh. Dan tidak berani berbuat jauh. Yang jauh dan dalam adalah hati Hayati kepadanya. Ia kerap merasa dosa, karenanya ini tak bisa ditunda.


Tetapi, di saat Mas Jati menjadi cahaya di kegelapan hidup Hayati dengan mengajaknya memilih kejelasan dari percintaan ini, justru Hayati tak mampu lagi melukis wajah Mas Jati di dalam angan, perasaan, dan pikirannya. Ia tidak bisa tidur. “Ahmar,….. Bagaimanapun kau adalah lelaki yang memberiku malam pertama. Indah, dan takjub…..” Hayati menggeliat, seakan mengawan di langit-langit kamarnya. Ahmar sang Penyabar. Tapi sebab apa? Apakah sebab Ahmar takut gagal lagi rumahtangganya sehinga ia terpaksa penyabar? Lelaki itu selalu diam bila sedang silang pendapat, dan tak mampu menjelaskan jalan pikirannya.
Sedang Mas Jati? Ah, lelaki itu amat megah, dan misteri. Mas Jati senantiasa datang dan pergi, tak terduga. Tapi Mas Jati selalu jelas dalam kata-kata, dalam pikiran, dalam sikap, dalam hidup Hayati.
Hayati tak kuasa mereguk dua cahaya itu sekaligus. Ia kini di depan cermin, lalu satu demi satu mulai menanggalkan semua pakaian-dunianya. Telanjang di depan kaca. Ia ingat sajak Chairil Anwar, “Aku berkaca/ Bukan buat ke pesta// Ini muka penuh luka/ Siapa punya?//” Hayati terheran-heran! Ia merasa dirinya menjelma menjadi seorang Dewi, yang diperempuankan oleh lima lelaki Pandawa. Sambil terus menatap wajahnya, di cermin, dua cahaya itu begitu menyilaukan mata dan hatinya. Dan, Hayati tak kuasa. Menjerit!
“Mengapa jalan gelap padahal langit terang! Mengapa cahaya itu justru merabunkan mataku! Mengapa…..”
Langit lalu lintas, tertutup korden malam. Itu tandanya pertunjukan dari Tuhan telah usai. Tapi, tanya dari hayat masih membara, Hayati belum juga beroleh jawabnya. Mengapa cinta semula cahaya menjadi sekedar sinar suluh yang rawan oleh angin?
Hayati terkapar dengan luka.

3. Gasing

Surat ini tak mungkin berperangko. Bahkan tak bisa beramplop. Aku berpura tak punya alamatmu, Hayati. Meski kutahu di mana. Tapi aku sudah berjanji tidak saja padamu, berjanji pada diriku sendiri, aku akan pura-pura tak tahu. Sebagai percintaan kau dan aku yang selalu berdiam dalam “puri pura-puramu”. Maka aku cuma menulis surat, tapi tak akan kukirimkan. Ini cukup bagiku. Sebagai sejak awal perjumpaan, pernah kuberkata dengan mengutip sajak, “sedang aku cukup bahagia/ menjadi pelengkap keindahanmu”…..
Ungkapan itu kerap kuungkap padamu, sekalipun hanya mengutip-ngutip sajak karya penyair. Tentu demi kepentingan romantis. “Akang bukan pria romantis. Tapi sok romantis deh…..” begitu komentarmu di saat-saat bahagia. Sebagai sediakala, kau cuma tersenyum.


Suatu saat kau mengenang. Waktu itu kau sempat dendam padaku. Lantaran perlombaan yang kulakukan dengan kawan-kawan. “Ahmar, kalau kamu bisa mencium Hayati, hadiahnya rokok Bentoel biru sebungkus!” begitu tantang kawanku. Itu di saat kau kelas tiga SMP, dan aku kelas tiga SMA.
Kutahu, kau kesepian yang akut. Hidup sendiri. Tanpa kedua orangtua. Sebelum melakukan “lomba” itu, sebenarnya aku juga tidak tega. Lantaran terkenang kisahmu, di saat-saat hujan sendirian di rumah masa kecil, takut petir, kau telungkupkan kepala mungilmu ke balik tumpukan bantal. Tetapi, aku butuh dipandang sebagai hero di hadapan kawan-kawan.
Dan dari lomba ngambung itu, kau pun takluk. Di belakang rumah, kita berjanjian. Canggung. Berdebar. Matamu berbinar. Ingin sungguh kusentuh tanganmu. Tapi belum lagi sempat bersentuhan, suara nenekmu yang rumahnya bersebelahan mengejutkan. “Siapa itu!?” Kau dan aku menahan nafas. Tak ada jawaban. Mematung. Kemudian, dikejutkan. “Maliiing! Ada maliiing!!” Sontak. Kau dan aku kalang-kabut. Kusuruh kau lari mengecoh. Dan aku yang berpura tertangkap. Dibawa ke balai desa. Diadili!
Sedang kamu? Ceritamu lari sampai kuburan. Dengan takut yang akut kau berani-beranikan menunggu pagi di atas nisan. Toh dini harinya kau tertangkap juga. Sama, di bawa ke balai desa. Orang sekampung merubung. Duh malunya saat itu! Orang sekampung berlalu menggerutu. “Wow! Si Hayati, anaknya Siti Julaika, akan ambung-ambungan, konangan!!”
Sejak itu kau dan aku sepakat pacaran. Tapi aku juga masih pacaran dengan Iin, putri kepala desa. Juga Jaenah, tetangga sebelah punya anak satu, suaminya jadi TKI di Hongkong. Semua itu berjalan di jalan hidup, yang menurutku menyenangkan, bahkan membanggakan. Bukankah perhatian itu penting, apalagi dari makhluk yang bernama wanita?
Ibu jauh sejak aku kelas satu SMP lantaran entah mengapa lari dari bapakku. Aku dan dua adikku ikut bapak. Kasihan bapak, harus menjadi bapak sekaligus ibu bagi anaknya. Kok ya ndilalah, setelah bapak kawin lagi pun mendapat istri yang judesnya minta ampun, si Janda Muda Tukang Perintah Wong Lanang! Begitu bisik-bisik tetangga.
Setahun dari pacaran, aku kuliah di Jakarta. Wah, metropolit ini luar biasa, memberiku ruang gerak yang bebas. Surat-suratmu malas kubalas. Anak gadis Bapak kos memang semenarik, dan sekagum dirimu. Tapi dia punya kelebihan selincah kupu-kupu, yang bikin pandangku terpaku, mengikutnya. Aku dan dia terbang ke segenap penjuru, melipat-lipat arah kiblat. Sampai dia tertusuk duriku dari keasyikan terbang. Dia bunting! Terpaksa nikah. Punya anak satu. Tapi sebab ini cuma iseng, maka aku buru-buru pilih minggat balik ke desa. Toh mereka tak tahu darimana asalku.
Tahu-tahu kau masih setia menunggu cinta dariku. Daripada hidup berpusing kayak gasing, kurayu saja kau, habis-habisan. Aaah…..kau dan aku pun kawin kilat…..


Sekilat itu melakoni cinta dengan gelak-tawa dunia. Sekilat itu juga kuludahi cinta dengan perasaan marah. Tapi sekilat itu pula lantaran darah muda bak tuak, kau dan aku dipertautkan oleh kelon. Itulah pasal yang selalu menggiring kau dan aku saling membutuhkan.
Tapi, kau tak juga paham lelaki sepertiku. Kau tak pernah tahu aku pusing bagai gasing di malam-malam panjang. Berputar gila sendirian. Kau tak mau tahu sebab tujuan-tujuan muliamu kuliah di Yogya.
Sesungguhnya setelah setahun perkawinan itu, kalau pulang, bagiku kau tetap murid yang lamban mencerna pelajaran dari sang Guru. Dengan alasan capek perjalanan dari Yogyalah, inilah, itulah. Lama-lama tanda tanya terjawab dari dompetmu. “Ini cuma foto kawan!! Justru Mas-lah yang perlu dipertanyakan sebelum dan sudah perkawinan ini?!” Maka aku tak perlu mendengar alasanmu lagi.
Jam-jam malam bagiku harus memanjang. Tapi bagimu cukup singkat saja, alasannya sebab esok masih ada hari. Belum lagi soal penampilan, yang menurutmu berubah jadi petani tambak melulu. Cara bicara, aku tak suka hal yang mengawang, jauh dari yang praktis-praktis. Kau justru sebaliknya. Aku memang tak biasa menguraikan jalan pikiranku, apalagi untuk perempuan.
Aku muak dengan kuliahmu, yang cuma menjadikanmu bukan perempuan sebenarnya. Kau tak seperti yang kubayangkan. Lama-lama aku lebih suka jika kau lama tidak pulang. Dengan itu kau tak perlu tahu apa yang kukerjakan. Jika kau di rumah, apa saja bisa jadi pemicu omongan kasarku keluar. Seperti malam ini. Sedang ibumu tak di rumah.
Sejak sore kepulanganmu, ada saja yang kaupertanyakan dengan keberadaanku di rumah, di kamar kau dan aku. “Kenapa barang dalaman selalu bisa pindah kemari?! Ini milik siapa?!” Kau menangis. Aku tak suka perempuan menangis. Kenapa itu yang dipertanyakan Hayati. Aku memang tak merasa perlu tahu dengan barang itu, toh ini rumahnya, rumah ibunya.
Seperti malam-malam lalu. Tersinggung! Jika sudah begini, memang aku minggat ke rumah orangtuaku yang hanya bertetangga desa. “Wadon sundel !” Serapah seperti sampah. Kubanting pintu.
Seperti yang sudah-sudah, Hayati diam seribu bahasa.
“Turunan kawin-cerai! Sundel !” aku meradang. “Tuuh, lihat ibumu, kawin sepuluh kali! Pada baen karo anake!”
Tak terduga. Kali ini Hayati nyalang. Wajahnya yang biasa bagai kali bening, kedalaman, ini kali seperti menantang Tuhan.
“Alaah! Nggak ngelihat bapakmu sendiri! Pada baen! Wadonan!” Akhirnya, pusaran kali bertahun itu mempertontonkan sampah-sampah ke permukaannya, menjadi bandang kata-kata. Tetapi lelaki harus menang, maka aku harus meradang.
“Sih!!!”
Malam memang gerhana. Lelaki yang tidak puitis itu menjadi kian linggis kata-katanya. Di luar pintu, Ahmar tambah liar membayangkan Jaenah yang lembut tapi liat, Iin yang manis manggis sekaligus bagai kuda Arab, ….. Wajah perempuan ganti-berganti menyumpal angannya. Dan gerhana menyemprot malam bagai tinta.


Taman kota, sawah, jalan lekuk-liku pegunungan, kedai-kedai, di banyak tempat menyisakan kenangan denganmu yang melukisi mataku. Berseliweran kayak slide pemandangan yang dibingkai kaca jendela kereta api. Barangkali sebab sedu-sedan hidup akhir-akhir ini, aku menjadi romantis. Ingat penggalan sajak, yang kutemukan dalam koran Minggu, bekas bungkus nasi yang tadi kubeli di stasiun, “…../kuas-kuas sunyi melukisi mataku/ hingga aku silau terpukau/ bertukar tangkap dengan bayangan sendiri/ kenapa aku kau biarkan begini berdarah?//”
Dalam begini, aku teringat kata-kata bapak, “Jangan kawin muda mengatasnamakan cinta, kau akan lekas berubah, bosan, sesal selalu di belakang…..”
Tetapi memang, selain kelon, apa yang mempertemukan kau dan aku, Hayati? Aku jadi filosofis seperti ini mungkin sebab pernah kuliah, sekalipun sebal bicara begini di hadapanmu. Kelon, yang kemudian dijadikan ukuran percintaan. Dan kawin-cerai menjadi simbol yang dimaklumi, status seorang perempuan laris-manis laku di lingkungan desa pesisiran ini. Perempuan yang merasa terjajah kuasa laki-laki, tapi dengan kawin-cerai itu menyisakan sekian harta. Semakin sering cerai, pembagian harta gono-gini kian tambah-bertambah. Seperti halnya ibumu. Sudah sepuluh kali, seingatku. Tapi seingatmu enam kali. Ah, itu tak penting! Ibumu toh masih muda, hanya beda duapuluh tahun denganmu, dan beda lima belas tahun denganku. Mungkin masih banyak waktu untuk mencari jawab dari tanya apa makna cinta sejati, atau memaknai lelaki, atau pencarian entah dari hidup.
Memang. Sebelum kau juga turut membanting pintu semalam itu, ada sesuatu yang membolak-balikkan susunan malam. Barangkali seperti judul sinetron India atau Latina saja. Sekalipun aku tak ingat benar pasnya. Tetapi, senyuman yang saban hari secara cuma-cuma mengembang di hadapan, memaklumkan aku teringat kisah istri tuan Mentri yang konon menggoda Yusuf, pria paling tampan sealam raya itu.


Senja berangsur malam. Di mataku. Peristiwa demi peristiwa berseliweran kayak slide pemandangan remang-remang yang dibingkai kaca jendela kereta ini. Bergonta-ganti dengan pandanganku pada perempuan yang memecahkan biji cinta kau dan aku, yang kini di sebelahku. Lantaran nyala neon kereta api, wajah yang membayang di bingkai kaca jendela itu saling tertindih di antara slide demi slide peristiwa dan pemandangan yang tertembus di luar sana. Sedang di dalam hatiku…..
Surat ini tak mungkin berperangko. Bahkan tak bisa beramplop. Aku berpura tak punya alamatmu, Hayati. Meski kutahu di mana. Tapi aku sudah berjanji tidak saja padamu, berjanji pada diriku sendiri, aku akan pura-pura tak tahu. Sebagai percintaan kau dan aku yang selalu berdiam dalam “puri pura-puramu”…..
Barangkali juga puri pura-puraku selama ini. Tapi bagaimanapun hari kemarin sesaat sempat indah, dan menakjubkanmu. Malam pertama di luar gerimis, di dalam kau terisak, berbisik, “Mas, aku bahagia.” Pengalaman yang tidak pernah kudapat dari perempuan selainmu. Barangkali itu yang mengerakkan menulis sekedar surat. Tak tahu apakah sebagai sedikit kenangan. Sekalipun pasti bukan untuk berterimakasih.
Dan sebelum kuakhiri ingatan membaca ulang surat yang telah lusuh sebab kerap dibaca ini, perempuan yang amat kaurindu sekaligus kaukutuk, tersenyum di sebelahku. Aku hanya bisa menerka-nerka makna senyuman itu. Selebihnya getar-getar hatiku yang samar. Mungkin memar.
“Kita, kemana, Ahmar?”
“Kemana saja, Bu, ….. eh, Julaika…..” ia kembali tersenyum. Aku juga tersenyum. Agak tersipu. Tapi kemudian sama-sama tertawa, entah sebab apa.
Stasiun kecil pojok desa itu tentu telah jauh, tapi masih terbawa penyebutan di rumah, sebab beberapa tetangga kebetulan juga menanti kereta.
Ini entah telah stasiun ke berapa. Udara malam di dalam dan di luarku mulai terasa hampa. Kereta api ekonomi ini meliuk-liuk, mencari-cari dunia.

4. Suwung

“Mengapa harus nonton Kamasutra?” aku jengah dengan ajakan istriku. Rasanya ini hanya sindiran belaka. Malam demi malam lewat. Tanpa kasmaran. Dingin memahat.
“Aaah, kau pasti suka. Aku perlu hiburan, Mas. Selingan! Daripada dapur, penganggur, dan kutak-kutek di rumah begini. Ayolah!” rengeknya manja. “Kau nanti pasti akan menggelepar usai nonton, Mas. Seperti ikan Mas Koki membutuhkan air. Dan aku akan menjadi airmu. Renangi aku, ya?” Dia tersenyum. Nakal.
Aku membalas senyumnya. Hampa.


Malam ke entah dari pulang-balikku sebab kerja di luar kota, aku datang dengan perasaan kelelakian yang bertalu-talu di dada. Kuketuk pintu. Sepi. Tak ada sahutan, selain kunci pintu yang diputar. Lalu, senyap. Ia kembali tidur menghadap tembok.
Aku tahu pasti apa yang telah terjadi. Ia telah berkata lewat nafasnya. Penantian ini suatu pengorbanan terbesar dari hidupnya. Hidup perempuan. Maka perempuanlah makhluk yang paling merasa setia menjaga cinta. Di rumah. Segalanya tak ada yang menjamah. Suci. Imut-imut seperti anggur yang baru dipetik.
Orang luaran rumah, sepertiku, tak punya cinta. Cintanya, kata dia, diobral di mana-mana. Seperti sopir truk gandengan, yang jalan malam, yang kerap kusalip di jalanan. Kutengok. Ah! Memang di tengah duduk antara sopir dan kernetnya, ada bidadari. “Kamu, paling juga begitu!” ketus istriku. Ya, mungkin saja, mahasiswi-mahasiswi itu sedemikian bodohnya, cuma tertarik dengan seorang dosen. Pegawai negeri sipil. Yang gajinya cuma bisa untuk makan separuh bulan. Selebihnya? Jadi pengamen di seminar-seminar. Atau, kalau aku, jadi “tukang obat” di kelas-kelas yang ditinggalkan dosen senior.
Apalagi, ketambahan dengan penelitian Iip Wijayanto yang sensasional itu. Puiih! 95% mahasiswi di Yogya telah ambrol keprawanannya. Istriku kian meradang dengan baca hasil jajak itu. “Nah, benar kan, kata Bu Inung. Tetangga sebelah itu, suaminya jatuh cinta pada mahasiswinya! Dia itu sudah tua, Mas. Sedang kamu? Masih muda. Thuk-mis pisan. Lengkap toh?”
Baru aku tahu dari istriku, kalau suami Bu Inung begituan. Kapan hari Bu Rohali juga bilang, suaminya telpon-telponan sama Bu Eva. Waaah. Betapa hebatnya pengaruh berita-berita selebritis di TV itu. Semua orang telah merasa jadi selebritis. Dan, aku, kian meringis. Kelelakian ini berdentum keras. Tapi peluru yang muntah hanya selongsong lepas.
Aku tak habis pikir. Mengapa kasihsayang tanpa bara cinta di malam begini masih ada nyala cahaya. Mungkin saja istriku penggemar berat Erich Fromm. Dalam The Art of Loving, Fromm memang menghibur diri bagi orang-orang yang setia sepertinya. Katanya, kualitas cinta itu tidak ditentukan oleh kualitas seksual. Sebaliknya, kualitas seks ditentukan oleh kualitas cinta. Seperti makanan yang enak, kalau perasaan lagi nggak ngeh, ya hambar juga.
Bila petasan telah berletusan dari mulut istriku yang mungil itu, ia akan berangkat tidur. Mendengkur. Mungkin kali ini juga begitu? Tapi, tidak! Di sudut ranjang ada setumpuk baju, koper, dan perhiasan. Dia menangis. Aku tak mengerti. Ambyar sudah keinginan yang berloncatan sejak di jalanan tadi. Daripada bertengkar, aku ke dapur. Di meja, banyak sekali buah-buahan. Rasa lapar berganti mengarah ke lapar perut. Tak ada nasi. Tapi aku makan buah-buahan itu. Sendiri.


“Mas. Mas! Eva bilang, Endang punya masalah besar lho?” ia bersandar di pundakku. Suatu sore yang membetah diri di beranda. Angin tak kedengaran.
“Ada apa?” buyar lamunanku pada baris sajak Goenawan Mohamad itu. Ia bilang, Bu Endang lagi ramai dengan suaminya. Tapi Endang kalau cerita memang seru. Katanya, pacarnya itu hebat. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Endang bagai pacar ketinggalan perahu. Tidak seperti lelakinya, dirundung ragu.
Aku tertegun. Di beranda angin kedengaran lagi. Tapi, di dadaku jadi gemuruh. Beranda ini memang sepi. Tak cuma di beranda, di rumah ini selalu sepi. Bagaimana tidak? Sepuluh tahun aku dan dia menjadi suami istri. Istriku sarjana ekonomi, yang entah sebab nasib, sulit mencari kerja. Kami kerap berdebat soal ini. Sebab setianya padaku, ia harus cepat lulus, jadinya nilainya jelek. Dan aku tanpa disalahkan pun, kerap merasa salah sendiri. Aku memang sering merasa bersalah. Bahkan sejak kecil.
Di keluarga sebab anak pertama, aku dituntut serba bisa. Mulai dari memasak, sampai terima tamu. Waktu menginjak remaja, sebab aku pembawaannya banyak omong, banyak teman wanitaku suka. Tapi oleh Bulik dan Paklikku tempat indekos, diadu-adu ke orangtua di dusun, bahwa aku suka pacaran. Untungnya saat kuliah ketemu dengan istriku. Perempuan ini memang luar biasa. Santun. Tahu tatakrama. Bijak. Dan penuh nasihat. Sampai-sampai aku tak tahu, bagaimana cara menasihati seorang istri, tatkala kawan dosen ada yang minta pendapat cara menaklukkan istri. Nasib baikku, aku juga bisa lulus. “Orang yang bermula dari kata” ini, dan betah di rumah sebab pengangguran terselubung, mendadak berubah menjadi manusia-pergi.
Aku senang dengan hiburan baru ini, kerja. Setidaknya dengan begini aku merasa lebih memiliki arti dalam hidup. Istriku yang dulu susah-payah bikin roti dan dititipkan dari toko ke super-market, kini nyaman di rumah, nonton TV, dan merangkai kembang. Rumah bersih. Dan lampunya terang. Ia yang dulu sangat introvert dengan tetangga. Kini agak nyambung dengan omongan Eva, Titi, Jeany, Endang. Untung pula aku hidup di perkampungan yang agak rapat.
“Kok nglamun sih! Mas!” aku tergagap. Terus-terus, Endang bagaimana ya, tanyaku. Ia melanjutkan, katanya suaminya tahu. Suaminya yang tentara itu harus berhadapan dengan tentara juga? Pacar Bu Endang kan tentara? Seru banget ya, jadinya. Bisa pistol-pistolan!
Aku kelu dengan kata-kata istriku, pistol-pistolan itu.
Tatkala Berita Malam menyiarkan perang Irak-Sekutu Amerika yang penuh ledakan itu, justru aku tiarap. Tak ada ledakan di sini. Selain bersipunggung. Dan dengkur. Sedang aku bangga dan bersyukur, memiliki istri yang meledak-ledak, sekaligus tidak menuntut. Bijak. Tapi, aku, lelaki.


Buah-buahan yang tadi malam kumakan, ternyata menyisakan sakit perut yang berkepanjangan bagiku. Sehingga tengah malam aku bangun, menuju kamar kecil.
Tatkala pintu kamar kecil kubuka, istriku ternyata ada di dalamnya. Terperanjat. Ia sedang menenteng gelas dengan tangan kanannya, berisi seperti teh. Tapi bukan teh kukira. Dan di tangan kirinya ada yang membuat jantungku berdentum. Mau lepas.
Tapi? Aku lelaki. Mendadak aku kian berdebar merindu Kamasutra. Kembali ingin bercinta di bangunan seperti kuil tua, bersama reinkarnasi kekasihku. Bidadari sepiku.

TAMAT.