(kubaca di dalam kereta saat menuju kota lain)
Telah aku sampaikan isi suratmu, Supri
Sebab bahasamu yang penyair itu terlalu tinggi
Maka aku bahasakan lain kepadanya
Tapi tetap saja ia tak mengerti
Ia hanya bertanya begini
“Si Supri? Masih dia luntang-lantung seperti dulu?”
Begitu katanya
Maafkan atas kepolosan ibuku
Tapi asal kau tahu, Supri
Akulah yang memutuskan untuk menikah dengan laki-laki
Yang kau sebut ber-sepatu safety itu
Sudah saya perkirakan kau tak akan terima
Tapi sebagai perempuan ‘malang’ yang lahir dari rahim
Kemiskinan
Cinta menjadi nomor yang ke sekian
Saya akhirnya sepakat dengan seorang penyair
Yang pernah kau kenalkan padaku
Bahwa pasal pertama adalah carilah keselamatan
Buruh itu lebih menjamin daripada kau, Supri
Lagi pula aku sudah lama sangsi padamu
Lelaki terlalu banyak bicara
Ngomong soal keselamatan masyarakat
Tapi lupa akan keselamatan sendiri
Orang dengan pendidikan tinggi memang kebanyakan
Seperti kamu, Supri
Berebut panggung, berebut podium
Mengumbar kata-kata
Tapi lupa
Bahwa manusia hari ini sudah tak mau lagi mendengar
Semua orang berebut untuk bicara
Lalu apa yang bisa diharapkan?
Hidup merdeka yang kau tawarkan tak lebih
dari sebuah kenihilan menghadapi kenyataan
bahwa makan tiga kali sehari tak bisa lagi ditawar
anak-anakku kelak
harus mendapat jaminan masa depan yang pasti
Saranku, Supri
Segeralah cari jaminan hidup
Orang-orang hari ini sudah enggan
Membeli ide atau sajak-sajak murung
Dari buku-bukumu itu
Oleh:
Ferdiyan Ananta,
Bogor-Cilegon, 2017.
TAMAT.