Surat Untuk Ibumu

Katakan pada ibumu, Suti

Aku benar-benar sakit hati

Bagiamana mungkin cintaku

Yang kupupuk bertahun-tahun itu

ditukar dengan sepatu safety

Padahal, asal ibumu tahu, Suti

Sebab suara dan tangan-tangan aktivis seperti aku inilah

Gajih calon suamimu itu dinaikkan

Ditinggikan

Mereka;

Kepala-kepala BUMN,

Komisaris-komisaris pabrik asing yang memadati negeri ini

Takut dengan suaraku yang lantang

dan ratusan massa yang mengekor

Di bawah komandoku

Suti

Atau jangan-jangan kau kurang mempromosikan aku pada ibumu

Kau tak ceritakan bahwa selain aktivis

Aku juga

Ehm,

Penyair

Orang-orang hanyut dengan diksi-diksi yang kupilih

Gemuruh tepuk tangan melambungkan suaraku ke angkasa

Di koran-koran ibu kota

Namaku terus dipajang

Sebagai penyair muda

Sebagai pejuang kemanusiaan

Pejuang sosial

Ah,

Naluriku memang tanggap menangkap gejala

Tak cukupkah itu membanggakan

sebagai menantu, Suti

Tak cukupkah itu untuk ibumu?

Tapi kenyataannya kau kawin

Dengan laki-laki berspatu safety itu

Yang punya jadwal kerja delapan sampai dua belas jam sehari

Yang tak bisa protes

Yang harus selalu berkata ‘Iya’

Kau kawin

Kesimpulanku

Di negeri ini

Kecerdasan dan kemerdekaan

Tak pernah ada harganya

Ferdiyan Ananta,
Bogor, 2017

BIODATA PENULIS. Ferdiyan Ananta, lahir di Cilegon, 27 Februari. Menulis sejak menjadi pengurus bulletin sekolah di MA-Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. Semasa kuliah di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten.

Beberapa karya sastra-nya terhimpun dalam antologi Sekedar Basmalah (Damar26 Publishing-2012), Sakatalope (Nekad Publishing, 2013), Wafak Mbah Koyod (Gong Publishing, 2013), Lentera Sastra (Lentera Internasional, 2013), Gugur Kota dalam Sajak, (Gong Publishing, 2014). Selain sastra, penulis juga aktif menulis karya ilmiah popular.

Ferdi